Pulau Rempang: ‘Kami tidak hendak pindah walaupun kami terkubur di sana ‘
Sobirin, warga Kampung Tanjung Banon, Pulau Rempang sudah berhari-hari tak mencari nafkah di laut karena khawatir kampungnya akan dipatoki petugas dari BP Batam dan aparat. (foto; BBC Indonesia)
SOLO, (Mas Reko)– Perwakilan warga dari 16 kampung adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, melaporkan sikap menolak relokasi tidak hendak berganti. Walaupun pemerintah memberikan batas waktu pengosongan kawasan itu hingga 28 September 2023 untuk pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.
Baca Yuk:Pengosongan lahan Pulau Rempang berujung ricuh
Sementara itu, Presiden Joko Widodo menyangka penolakan warga Rempang diakibatkan “komunikasi yang kurang baik”. Karenanya, ia mengutus Menteri Investasi Bahlil Lahadalia buat menerangkan kepada masyarakat akan duduk perkara menurut pemerintah.
Sobirin tak melaut
Telah berhari-hari, Sobirin, 43, tidak berangkat melaut buat mencari nafkah.
“Kami betul-betul khawatir kata nelayan yang tinggal di Kampung Tanjung Banon, Pulau Rempang kepada wartawan Nando Bolean yang memberi tahu buat BBC News Indonesia pada Selasa (12/09).
Ingin makan apa, istri juga telah ngomel-ngomel jika kami ndak kerja. Jika kami kerja kan, tetapi kami tinggalkan [rumah], kata orang-orang kampung ingin terdapat pematok-pematok, jadi ndak jadi kerja, khawatir tuturnya.
“Bukannya kami melarang orang itu, kami enggak melarang, tetapi tolonglah jangan dipatok dahulu saat sebelum berakhir negosiasinya.”
Kampung Tanjung Banon terletak di sisi selatan Pulau Rempang, berjarak dekat 60 km dari Kota Batam. Semacam Sobirin, kebanyakan masyarakat di mari merupakan nelayan.
Baca Yuk:Muhammadiyah Desak PSN Rempang Eco-City Dicabut: Sangat Bermasalah
Sobirin menetap di kampung ini semenjak 2003, sehabis menikah dengan istrinya yang ialah orang asli Tanjung Banon.
Sepanjang itu pula, Sobirin menggantungkan hidupnya pada laut di sekitarnya yang sudah ia kenali.
Ketika mendengar kabar kalau warga wajib direlokasi demi proyek Rempang Eco City, ia mengaku tidak dapat membayangkan hendak semacam apa hidupnya nanti.
“Tidak hendak dapat kita hidup di darat. Kita wajib mulai dari nol lagi, tidak ketahui tempat kita kerja, enggak hendak dapat malah dapat jadi mati kelaparan dahulu Kita wajib menguasai laut dahulu Di mari kan kita telah ketahui di mana tempat udang, tempat gonggong, kita ketahui di mana yang terdapat ikannya,” tuturnya.
Sobirin telah mendengar tawaran ubah rugi rumah dari BP Batam, tetapi ia enggan mendaftarkan diri.
“Kami tidak ingin Makanya kami meminta memohon tolong kepada pemimpin-pemimpin kami, janganlah gusur kami,” ucapnya
Ketakutan hantui warga
Ketakutan yang sama dialami oleh Naharuddin, seseorang kakek berumur 79 tahun. Ia merasa aspirasi warga tidak didengarkan. Unjuk rasa yang diselenggarakan warga buat mengutarakan aspirasi pada Senin (11/9) di depan Kantor BP Batam juga berujung ricuh.
Baca Yuk: Korban tewas akibat gempa di Maroko capai 2.800 orang , upaya penyelamatan terus dicoba
“Tidak terdapat keadilan terhadap kami, tidak berikan peluang untuk kami buat tinggal di kampung tua ini,” kata Naharuddin.
“Ke mana kami hendak dipindahkan? Sebaliknya kami nelayan asli kampung tua kan. Telah begitu lama nenek moyang kami, kuburan-kuburan masih terdapat peninggalan-peninggalan nenek moyang kami masih terdapat tuturnya.
Dalam konferensi pers di Batam pada Selasa, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, berkata kalau masyarakat hendak direlokasi ke daerah Dapur 3 Sijantung, di lahan seluas 450 hektare. Di sana masyarakat dijanjikan hendak memperoleh rumah jenis 45 senilai Rp120 juta.
Rudi menjanjikan sarana yang komprehensif”, mencakup pembangunan rumah bernuansa melayu, sarana pembelajaran rumah ibadah, lapangan bola, dermaga serta kenaikan infrastruktur jalur
“Termasuk listrik hendak kita masukkan permanen, tidak semacam saat ini Hidup jam 6 mati jam 6 Jadi hidup 24 jam dari PLN sendiri,” kata Rudi.
Tetapi pembangunan hunian sesi awal dari rencana itu ditargetkan baru rampung pada Agustus 2024. Sedangkan itu, BP Batam menawarkan dorongan sewa rumah, duit tunggu, ataupun rusun buat masyarakat yang direlokasi.
BP Batam berkata tiap orang dalam satu keluarga hendak menemukan bayaran hidup sebesar Rp1,2 juta. Tidak hanya itu, tiap keluarga pula hendak menerima bayaran sewa hunian sebesar Rp1,2 juta.
Baca Yuk : Banjir Libya menyapu bersih Kota Derna, 10.000 orang dikhawatirkan hilang
“Kita telah setuju sesungguhnya dari pusat hingga ke wilayah mudah-mudahan warga dapat terima dengan baik. Jika tidak, kami buka ruang buat berdialog dengan kami,” kata Rudi.
Dihubungi terpisah, Kepala Biro Humas Promosi serta Protokol BP Batam, Ariastruty Sirait, mengeklaim kalau telah terdapat warga yang mendaftarkan diri serta menerima tawaran tersebut. Tetapi ia enggan merinci berapa banyak warga yang mendaftar dengan alibi “konfidensial”.
Namun untuk Naharuddin, tawaran itu tidak lumayan menenangkan hatinya yang menolak buat direlokasi.
“Di mana-mana penggusuran itu tentu lahan warga telah disiapkan, telah jadi bangunan, baru warga pindah,” kata ia
Ia berkata kalau warga setempat bukannya menolak pembangunan, tetapi mereka menolak direlokasi.
“Silakan membangun sebesar Pulau Rempang, tetapi penduduk kami, nyaris 2 abad telah terbangun di kampung kami, kami ndak ingin dipindah. Biarlah kami senantiasa di mari Mereka ingin bangun proyek apapun bangunlah, tetapi jangan usir dari tempat kami,” kata Naharuddin. (Reko Suroko)
Sumber : AP