Orangutan terlihat mengobati luka dengan tanaman obat pertama di dunia
Rakus orangutan sumatera jantan difoto dua bulan setelah dia merawat lukanya [Reuters]
Seekor orangutan Sumatera bernama Rakus terlihat menggunakan tanaman untuk mengobati luka di wajah yang mungkin diderita saat berkelahi.
Jakarta- (Mas Reko)–Seekor orangutan di Indonesia terlihat merawat lukanya dengan tanaman obat tropis – satu contoh terbaru tentang bagaimana beberapa hewan berupaya menyembuhkan penyakit mereka sendiri dengan pengobatan yang ditemukan di alam liar.
Para ilmuwan melihat orangutan sumatera bernama Rakus memetik dan mengunyah daun tanaman obat yang digunakan masyarakat di seluruh Asia Tenggara untuk mengobati nyeri dan peradangan. Laki-laki dewasa kemudian menggunakan jari-jarinya untuk mengoleskan sari tanaman tersebut pada luka di pipi kanan. Setelah itu, ia menekan tanaman yang sudah dikunyah itu untuk menutupi luka terbuka seperti perban darurat, menurut sebuah penelitian di Scientific Reports yang dirilis pada Kamis.
Baca juga : Harimau Jawa punah? Indonesia perlu cari bukti.
Penelitian sebelumnya telah mendokumentasikan beberapa spesies kera besar yang mencari obat-obatan di hutan untuk menyembuhkan diri mereka sendiri, namun para ilmuwan sebelumnya belum pernah melihat seekor hewan memperlakukan dirinya sendiri dengan cara seperti ini.
“Ini adalah pertama kalinya kami mengamati hewan liar mengoleskan tanaman obat yang cukup ampuh langsung ke lukanya,” kata rekan penulis Isabelle Laumer, ahli biologi di Max Planck Institute of Animal Behavior di Konstanz, Jerman.
Pengamatan tersebut dilakukan di Taman Nasional Gunung Leuser di pulau Sumatra, Indonesia ketika para peneliti melihat Rakus mengalami cedera pada Juni 2022. Mereka yakin dia terluka saat berkelahi dengan orangutan jantan saingannya.
Tim kemudian melihat Rakus mengunyah daun tanaman dengan nama ilmiah Fibraurea tinctoria “tanpa menelannya dan menggunakan jarinya untuk langsung mengoleskan sari tanaman tersebut dari mulutnya”.
Tanaman yang dikenal dengan nama Akar Kuning di Indonesia ini jarang dimakan oleh orangutan di kawasan hutan rawa gambut, yang merupakan rumah bagi sekitar 150 orangutan sumatera yang terancam punah.
Foto-foto menunjukkan luka hewan itu tertutup dalam waktu satu bulan tanpa masalah.
Baca juga : Mengatasi Jamur pada Kucing dengan Metode Alami
Rakus, diyakini lahir pada tahun 1989, berjenis kelamin laki-laki berflang, dengan bantalan pipi besar di kedua sisi wajah – ciri seksual sekunder laki-laki. Dia adalah salah satu laki-laki dominan di wilayah tersebut.
‘Kemungkinan besar itu adalah pengobatan sendiri’
Para ilmuwan telah mengamati orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser di Indonesia sejak tahun 1994.
“Ini adalah observasi tunggal,” kata ahli biologi Universitas Emory Jacobus de Roode, yang tidak terlibat dalam penelitian ini. “Namun seringkali kita belajar tentang perilaku baru dengan memulai dari satu observasi.
“Kemungkinan besar ini adalah pengobatan sendiri,” de Roode menambahkan, seraya mencatat bahwa orangutan hanya mengoleskan tanaman pada lukanya dan tidak pada bagian tubuh lainnya.
Rekan penulis studi tersebut, Caroline Schuppli di Max Planck, mengatakan kemungkinan Rakus mempelajari teknik ini dari orangutan lain yang tinggal di luar taman nasional dan jauh dari pengawasan sehari-hari para peneliti.
Para ilmuwan sebelumnya telah mencatat primata lain menggunakan tanaman untuk mengobati diri mereka sendiri.
Orangutan di Kalimantan, pulau yang terbagi antara Brunei, Indonesia dan Malaysia, diketahui menggosok diri mereka dengan jus dari tanaman obat, mungkin untuk mengurangi nyeri tubuh atau mengusir parasit.
Baca juga : Awas, tingkatkan kewaspadaan terhadap virus Nipah
Simpanse di berbagai lokasi terlihat mengunyah pucuk tanaman yang rasanya pahit untuk menenangkan perut mereka. Gorila, simpanse, dan bonobo menelan daun kasar tertentu secara utuh untuk menghilangkan parasit perut.
“Jika perilaku ini terjadi pada beberapa kerabat terdekat kita yang masih hidup, apa yang dapat kita ketahui tentang bagaimana pengobatan pertama kali berevolusi?” kata Tara Stoinski, presiden dan kepala staf ilmiah dari lembaga nirlaba Dian Fossey Gorilla Fund, yang tidak berperan dalam penelitian ini. (RS)
Sumber ; Al Jazeera.