BMKG Pastikan Cuaca Panas ini bisa berulang setiap tahun


Seekor anjing beristirahat di reruntuhan rumah yang sebelumnya terendam di Waduk Jatigede tetapi kini mengering saat musim kemarau di Sumedang, Jawa Barat, 15 September 2018. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan cuaca panas yang melanda Tanah Air dalam beberapa waktu terakhir bukan gelombang panas atau “heatwave”. Meski begitu, aktivis lingkungan memperingatkan bahwa fenomena ini menunjukkan krisis iklim yang sudah semakin memburuk.

Jakarta, (Mas Reko)–Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyatakan bahwa cuaca panas yang sedang terjadi di Indonesia belakangan ini tidak dapat disebut sebagai gelombang panas.

Dalam penjelasannya, ia menyebut bahwa berdasarkan karakteristik dan indikator statistik suhu yang diamati, fenomena cuaca panas tersebut tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai gelombang panas.

Baca juga : Cuaca buruk hantam kesehatan mental Anda?

Dwikorita menjelaskan bahwa yang tengah terjadi adalah kondisi cuaca dengan suhu yang relatif tinggi, yang merupakan siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun. Oleh karena itu, potensi suhu panas seperti ini juga dapat terulang pada periode yang sama setiap tahunnya.

Siswa memegang payung saat berjalan pulang dekat Terminal Kontainer Internasional Jakarta, 13 Januari 2010. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

BMKG mencatat adanya peningkatan suhu di beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Jayapura di Papua (35,6 derajat Celsius); Surabaya di Jawa Timur (35,4 derajat Celsius); Palangkaraya di Kalimantan Tengah (35,3 derajat Celsius); Pekanbaru-Melawi di Kalimantan Barat; Sabang di Aceh; dan DKI Jakarta (34,4 derajat Celsius).

Dalam konteks ini, Dwikorita juga menekankan bahwa peningkatan suhu yang terjadi di Indonesia tidak sebanding dengan yang terjadi di beberapa negara lain seperti Myanmar, Thailand, India, Bangladesh, Nepal, dan China.

Ia menambahkan bahwa berdasarkan laporan rekapitulasi temperatur dari lembaga Global Deterministic Prediction System, Environment, and Climate Change Canada, suhu udara di beberapa negara tersebut mencapai titik maksimal antara 41,9 hingga 44,6 derajat Celsius dalam beberapa hari terakhir.

Dwikorita memprediksi bahwa cuaca panas yang sedang terjadi di Indonesia kemungkinan akan berlangsung hingga akhir musim kemarau, yakni Oktober, dengan puncak musim kemarau diproyeksikan terjadi pada bulan Agustus hingga September.
“Dwikorita Karnawati juga menjelaskan bahwa faktor alam yang berperan dalam kondisi ini antara lain adalah posisi semu matahari dan minimnya tutupan awan,” katanya.

Baca juga : Cuaca Panas Selimuti Wilayah Indonesia, Ini Cara Mengatasinya

Hadi Priyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menyatakan bahwa mereka belum dapat memastikan apakah Indonesia sedang mengalami gelombang panas saat ini. Namun, menurutnya, apa yang terjadi saat ini adalah anomali cuaca, di mana pada siang hari terasa sangat panas, sementara pada sore hari hujan turun dengan deras.

Seorang pria berjalan di dekat lahan kering yang sebelumnya terendam di Waduk Jatigede tetapi kini mengering di Sumedang, Jawa Barat, 15 September 2018. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan

Menurut Hadi, hal ini menunjukkan bahwa krisis iklim semakin memburuk dari waktu ke waktu, yang ditandai dengan ketidakakuratan prediksi cuaca. Dia memberikan contoh pada April tahun ini, di mana seharusnya musim hujan sudah berakhir, namun hujan masih turun cukup deras.

“Sebelumnya kita bisa memprediksi musim hujan secara konsisten, misalnya, September-Maret kita akan mengalami hujan, lalu April hingga September akan panas, dengan titik puncak suhu panas biasanya terjadi di bulan Juli-Agustus. Namun sekarang, pada bulan April kita sudah merasakan panas yang luar biasa, padahal seharusnya masih dalam masa peralihan dari musim hujan ke musim panas,” jelasnya.

Lebih lanjut, Hadi menyatakan bahwa memburuknya krisis iklim menunjukkan kurangnya keseriusan pemerintah dalam menangani masalah tersebut. Ini terlihat dari beberapa regulasi pemerintah yang masih menggunakan energi fosil dalam jumlah besar di dalam negeri.

Baca juga : Mencari jalan keluar tanpa ada dusta di Rempang

Terkait transisi energi, pemerintah justru menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 17 persen pada tahun 2025 dari sebelumnya 23 persen. Bahkan, menurut Hadi, dalam 5-7 tahun terakhir, peningkatan bauran energi terbarukan tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Dia mencontohkan bahwa pada periode 2022-2023, bauran energi terbarukan justru turun dari 12,5 persen menjadi 11,4 persen.

Selain itu, dalam RUPTL 2021-2030, Pemerintah masih berencana untuk membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebesar 13,8 gigawatt (GW).

“Jadi upaya mitigasi terhadap krisis iklim sepertinya tidak sejalan dengan langkah-langkah implementasinya yang diambil oleh pemerintah. Bahkan, mereka mengeluarkan BLT EL Nino, tetapi apa gunanya jika kita hanya diberi uang tanpa adanya langkah nyata. Ini seolah-olah hanya pemborosan uang untuk menangani masalah yang bukan merupakan akar permasalahannya,” jelasnya.

Hadi menegaskan bahwa pemerintah harus sungguh-sungguh memperhatikan masalah ini. Dampak dari krisis iklim sudah terlihat jelas saat ini, seperti terjadinya bencana hidrometeorologis dan kenaikan permukaan air laut yang sudah mulai dirasakan oleh wilayah pesisir di utara Jawa.

“Sebagai contoh, ada ilmuwan yang mengatakan bahwa Jakarta mungkin akan tenggelam sekitar 50 persen pada tahun 2030-2050. Namun, sebenarnya ini bukan hanya prediksi untuk masa depan, tapi sudah terjadi sekarang di beberapa titik di Jakarta Utara,” tegasnya.

Di sisi lain, Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Fanny Tri Jambore, mengungkapkan bahwa secara global, tahun 2023 telah ditetapkan sebagai tahun terpanas di bumi. Namun, untuk Indonesia sendiri, tahun 2016 masih dianggap sebagai tahun terpanas.

Baca juga : Mengungkap Manfaat Luar Biasa Jinten Putih

Meskipun begitu, Fanny menyatakan bahwa semua negara harus bertanggung jawab dalam menurunkan emisi gas rumah kaca agar krisis iklim tidak semakin memburuk dari waktu ke waktu.

Senada dengan Hadi, Fanny melihat bahwa pemerintah Indonesia belum menunjukkan keseriusan dalam menangani permasalahan ini. Bahkan, pada tahun 2023, Indonesia berada di peringkat kesembilan dalam daftar negara penghasil emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.

“Akar permasalahan ini masih belum ditangani dengan serius oleh pemerintah. Kita masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil dan melakukan ekstraksi bahan bakar fosil. Bahkan pada tahun 2023, Indonesia masuk ke dalam daftar negara penghasil emisi gas terbesar ke-9 di dunia,” ungkap Fanny.

Jika hal ini terus dibiarkan, katanya, dapat mengancam stabilitas pangan nasional. Dengan cuaca yang tidak dapat diprediksi dengan tepat, kemungkinan akan terjadi gagal panen.

“Ketidakstabilan dalam hal pangan ini dapat menimbulkan krisis dan konflik. Jadi efek dari pemanasan global dan perubahan iklim tidak hanya terbatas pada cuaca di sekitar kita, tetapi akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita,” pungkasnya. Reko Suroko

 

SUMBER : VOA Indonesia

 

Berita Terkait

Top