Perpanjang kontrak Freeport tanpa libatkan pemilik ulayat


Melongok Perpanjangan Freeport (1-bersambung)

Keputusan pemerintah Indonesia memperpanjang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT Freeport hingga 2061 dikritik sejumlah kalangan. Seorang pakar energi menganggap perpanjangan kontrak Freeport itu tidak memiliki alasan yang mendesak.

Seorang penambang emas ilegal masyarakat Kamoro, Tinus, mendulang emas pada 4 Februari 2017 di Timika.

Jakarta-(Mas Reko)–‘Saat diperpanjang hingga 2041, pemilik ulayat tak dilibatkan, sekarang ditambah lagi hingga 2061′ – Pemerintah Indonesia dinilai terburu-buru memperpanjang kontrak Freeport

Baca juga : Warga Negara China menambang emas dengan alat berat, ini ilegal

Keputusan pemerintah Indonesia memperpanjang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT Freeport hingga 2061 dikritik sejumlah kalangan. Seorang pakar energi menganggap perpanjangan kontrak Freeport itu tidak memiliki alasan yang mendesak.

Ada tuduhan pula dari pimpinan masyarakat adat, pegiat lingkungan, serta tokoh agama di Timika, Papua, bahwa proses perpanjangan izin usaha Freeport itu tidak melibatkan orang-orang asli Papua.

Baca juga : Kejagung Ancam Paksa Bos Sriwijaya Air

BBC News Indonesia belum mendapat klarifikasi tuduhan seperti itu dari PT Freeport Indonesia (PTFI). Pertanyaan yang dikirimkan BBC News Indonesia belum ditanggapi sampai berita ini diturunkan.

Dihubungi secara terpisah oleh BBC News Indonesia, Kepala Dinas ESDM Provinsi Papua Tengah, Frets Boray, menolak mengomentari tentang perpanjangan kontrak Freeport itu karena merupakan kebijakan pemerintah pusat.

Dilansir dari situs PTFI, perusahaan itu menyetorkan sekitar Rp3,35 triliun keuntungan bersih daerah pada 2023. Uang itu diberikan kepada Pemprov Papua Tengah sebesar Rp839 miliar, Pemkab Mimika Rp1,4 triliun, dan beberapa kabupaten lainnya masing-masing Rp160 miliar.

‘Janji dinantikan secara turun-temurun’

Nelson Naktime adalah generasi ketiga dari pemegang hak ulayat di wilayah hutan dan pegunungan yang kini menjadi wilayah pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI). Seperti leluhurnya, dia lahir di Kampung Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika.

Baca juga : Heboh Emas Antam Palsu 109 Ton, Ini Cara Cek Online Asli Atau Tidak

Rumah orang tua Nelson berjarak kurang dari 500 meter dari Kali Kabur. Di sungai ini, sisa hasil operasional Freeport mengalir sehingga mengundang para pendulang emas dari Papua maupun luar Papua.

Nelson ingat cerita yang disampaikan turun-temurun di keluarga besarnya: leluhurnya yang bernama Tuarek Naktime adalah satu dari sejumlah perwakilan pemilik hak ulayat yang menandatangani perjanjian dengan pimpinan Freeport pada dekade 1960-an.

Tuarek, kata Nelson, saat itu bersedia membubuhkan tandatangannya di atas kertas perjanjian dengan Freeport asalkan perusahaan itu menyekolahkan seluruh keturunannya hingga ke luar Indonesia dan menerima mereka menjadi pekerja di pertambangan itu.

Nelson tidak menerima realisasi perjanjian yang dibuat leluhurnya tersebut. Namun sebagian saudaranya telah bekerja di Freeport, bahkan menjadi salah satu pimpinan di perusahaan itu, yaitu Silas Naktime.

Baca juga :Jampidsus dikuntit Densus 88, Kejagung: Kami Tidak Lemah dengan Ancaman dan Tekanan

Sepanjang sejarahnya, Freeport beberapa kali menempatkan keturunan pemilik ulayat sebagai pejabat di perusahaan mereka. Thom Beanal, tokoh sentral Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme sekaligus penggerak pro-kemerdekaan Papua, pernah diberi jabatan komisaris di Freeport.

Thom tercatat pernah mengadukan Freeport ke Pengadilan Federal di New Orleans, Amerika Serikat pada tahun 1996 atas tuduhan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan.

Sebagai generasi muda keluarga Naktime, Nelson tidak mewakili keluarga besarnya dalam hubungan dengan Freeport maupun pemerintah. Namun dia mengikuti dinamika perusahaan yang diklaim Presiden Joko Widodo telah menjadi milik pemerintah Indonesia itu.

“Kalau Freeport ingin memperpanjang kontrak, mereka harus berkomunikasi dengan pemilik hak ulayat,” ujar Nelson.

Baca juga : Jampidsus Dilaporkan ke KPK

“Saat kontrak mereka diperpanjang hingga 2041, tidak ada pembicaraan dengan keluarga saya. Sekarang kontrak itu sudah ditambah lagi,” ujarnya.

Pelibatan masyarakat pemilik hak ulayat dalam pertambangan Freeport merupakan persoalan menahun yang muncul terus-menerus. Agustus 2022 misalnya, keluarga besar Naktime mengajukan protes karena proses penyusunan dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL) Freeport tidak melibatkan mereka sebagai salah satu kelompok yang paling terdampak.(RS)

 

Sumber : BBC News.com (Senin, 3/6/24)
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c5117z293r7o

Berita Terkait

Top