Budaya seksisme di rumah menjadi bibit ketidaksetaraan, benarkah?


Melihat Budaya Seksisme? (01-bersambung)

Pernahkah diarahkan untuk membantu di dapur meskipun kamu tidak tertarik memasak? Itu merupakan bentuk budaya seksisme di rumah. (Photo: iStock/golero)

Jakarta, (Mas Reko)–Perempuan harus selalu membantu urusan dapur, bersikap lemah lembut, dan pantang membicarakan menstruasi. Pemahaman yang kerap ditanamkan sedari kecil ini merupakan bentuk seksisme, dan menjadi awal mula sulitnya perempuan meraih kesetaraan.

Baca juga : Mungkinkah beras singkong jadi solusi krisis pangan?

Saya teringat sebuah cerita dari kolega saya. Ketika bertandang ke rumah sanak saudara, ia kerap kali diarahkan untuk langsung menuju dapur dan bergabung dengan sejumlah anggota perempuan lain di keluarga tersebut. Hal ini tidak lain tidak bukan adalah karena ia perempuan, dan tugasnya adalah untuk membantu urusan dapur.

Lain lagi cerita teman saya, seorang perempuan yang masih melajang. Ia curhat bahwa ketika berkunjung ke rumah saudara, hal yang paling sering dibicarakan adalah bahwa wajahnya polos, minim riasan. “Bagaimana ingin mendapat pasangan?,” tanya para kerabatnya.

Tidak hanya sampai di situ. Sahabat saya yang lain juga bercerita bahwa dia dibesarkan di keluarga yang tidak pernah mengucapkan kata “haid” atau “menstruasi”, dan hanya menggunakan sinonimnya seperti “datang bulan” atau “kedatangan tamu bulanan”.

Baca juga : Dua Korban Tewas di Jember Teridentifikasi

Oleh sebab itu, di keluarganya, pembalut merupakan barang langka yang dapat terlihat di depan umum. Anggota keluarga perempuan pun harus selalu mencuci celana dalam mereka dengan tangan, sementara para lelaki dengan mudah memasukkannya dalam mesin cuci bersama dengan pakaian lain.

Berbagai bentuk budaya seksisme itu diajarkan sedari kecil kepada para perempuan oleh para orang tua. Tidak heran, kondisi seperti ini terus tertanam di kalangan perempuan dan dianggap hal yang normal.

Mengutip Britannica, seksisme merupakan bentuk diskriminasi yang berdasarkan pada jenis kelamin atau gender seseorang. Budaya seksisme membentuk suatu keyakinan bahwa satu jenis kelamin atau gender lebih unggul daripada jenis kelamin atau gender lainnya.

Baca juga : Nelangsa Lansia di Jepang, Mati Kesepian

Seksisme dapat memengaruhi siapa saja, tetapi terutama memengaruhi perempuan dan anak perempuan. Budaya seksisme dapat mempengaruhi harga diri, jenjang karier, hubungan, dan kesehatan mental perempuan.

“Seringkali, hal ini terjadi tanpa disadari karena budaya dan pengalaman kita sebagai masyarakat Asia yang mengusung nilai tradisional,” ujar Thivya Lakshmi, psikolog klinis di The Center for Psychology.

Namun, para perempuan yang mengalaminya mungkin merasa sulit untuk mendiskusikan seksisme dalam konteks keluarga.

“Dibutuhkan keberanian untuk membicarakan topik ini dengan anggota keluarga yang sudah lanjut usia karena hal ini mungkin dianggap menentang keyakinan mereka, atau dicap sebagai pemberontak,” ujar Abigail Yang, psikoterapis dan konselor di Talk Your Heart Out.

Baca juga : Warga Ukraina dan Rusia Hadapi Hukuman Mati di Bali

DIMULAI DARI RUMAH

Pemahaman soal pembagian peran berdasarkan gender di rumah biasanya dimulai dari pembagian pekerjaan rumah. Anak-anak perempuan selalu diberikan tugas domestik seperti memasak dan bersih-bersih. Sementara, anak laki-laki biasanya diminta mengerjakan hal tugas di luar rumah, termasuk mencuci mobil.

Budaya seksisme membentuk suatu keyakinan bahwa satu jenis kelamin atau gender lebih unggul daripada jenis kelamin atau gender lainnya. (Photo: iStock/years)

“Di banyak budaya Asia, perempuan selalu diajarkan mereka harus bisa melakukan tugas domestik, seperti memasak dan bersih-bersih, karena akan suatu saat harus menikah dan pindah ke keluarga lain,” kata Lakshmi.
Selain itu, standar berbeda diterapkan untuk anak perempuan dan laki-laki. Anak perempuan selalu diminta bersikap sopan, sementara anak laki-laki kerap dimaafkan jika bersikap kasar dan membuat kegaduhan, tambahnya.

“Contoh lainnya adalah bahwa para orang tua kerap memuji anak perempuan atas penampilan fisik mereka, memperkuat gagasan bahwa nilai utama perempuan terletak pada penampilan, alih-alih pada kecerdasan atau potensi diri,” kata Sophia Goh, konselor utama di Sofia Wellness Clinic

.Baca juga : Anak-Anak Jadi Ancaman “Kiamat” Baru di Jepang

“Di sisi lain, remaja perempuan kerap kali mendapat komentar yang tidak menyenangkan soal penampilan, berat badan, atau kebiasaan makan. Hal ini dapat membuat mereka membenci bentuk tubuh yang tidak ideal,” ujarnya.(RS)

 

 

Sumber : CNA

Berita Terkait

Top