Proyek ‘food estate; di Kalteng kembali gagal
Jakarta, (Mas RE)–Proyek food estate di Kalimantan Tengah kembali gagal setelah tiga tahun berjalan, dengan ribuan hektare lahan yang semula dibuka untuk pertanian sawah kini terlantar. Lahan tersebut tak lagi difungsikan sebagai sawah dan kini ditumbuhi semak belukar.
Baca juga :Deflasi Indonesia: Stabilitas Harga Pangan dan Dampaknya pada Ekonomi
Beralih fungsi
Bahkan, ratusan hektare lahan lainnya sudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit yang dikelola oleh perusahaan swasta. Para petani di wilayah tersebut mengaku putus asa setelah gagal panen berulang kali, yang memaksa mereka untuk berhenti menanam padi di lahan food estate.
Pantau Gambut, sebuah lembaga yang memantau 30 area ekstensifikasi proyek food estate di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau pada periode 2020 hingga 2023, mengungkap bahwa lahan-lahan tersebut banyak yang terbengkalai dan berubah menjadi kebun sawit.
BBC News Indonesia juga melaporkan kondisi serupa saat mengunjungi Desa Tajepan di Kabupaten Kapuas, di mana petani seperti Sanal, yang telah berusia 69 tahun, mengungkapkan bahwa bertani padi di lahan food estate tidak pernah berhasil. Menurutnya, menanam sawit di lahan tersebut jauh lebih menguntungkan dan berhasil dibandingkan menanam padi, yang terus-menerus mengalami kegagalan akibat kondisi lahan gambut yang tidak mendukung.
Baca juga :Mungkinkah beras singkong jadi solusi krisis pangan?
Bagi Fadli, 46, kegagalan food estate ini mengingatkannya pada kegagalan keluarganya di masa lalu ketika terlibat dalam Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di masa Orde Baru.
Saat itu, keluarganya mencoba menggarap lahan di desa tetangga, namun mereka akhirnya harus kembali ke Desa Tajepan setelah proyek tersebut gagal. Proyek food estate yang dicanangkan kembali oleh pemerintah Presiden Joko Widodo di lahan bekas PLG ini menuai banyak kritik dan keraguan dari berbagai pihak. Banyak yang meyakini bahwa proyek ini sulit berhasil, mengingat sejarah kegagalan yang sama di masa lalu.
Baca juga :Di Persimpangan Gendengan Solo, Sopir Meninggal Saat Mengemudi
Pemerintah, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, tetap melanjutkan proyek food estate ini dan memperluas cakupannya hingga mencapai lebih dari 16.000 hektare pada tahun 2022, meskipun banyak masalah yang sudah diungkap. Alih-alih mengevaluasi kegagalan, pemerintah malah memperluas proyek ini. Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa dari 30 titik food estate yang berdekatan dengan kawasan gambut lindung, sebanyak 15 titik dengan luas total 4.159,62 hektare kini terbengkalai.
Selain itu, tiga titik lainnya dengan luas sekitar 274 hektare sudah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit. Perluasan area food estate ini juga menyebabkan hilangnya tutupan pohon seluas hampir 3.000 hektare, setara dengan sekitar 4.200 lapangan sepak bola.
Menurut Wahyu Perdana, manajer kampanye dan advokasi dari Pantau Gambut, kegagalan berulang ini disebabkan oleh kesalahan pemilihan lahan. Wahyu menyebut bahwa lahan gambut yang digunakan untuk food estate sebenarnya hanya cocok untuk pertanian pada satu persen area, sementara sebagian besar lahan lainnya tidak sesuai untuk budidaya padi.
Baca juga :Masyarakat Rempang susah dapat pasokan pangan semenjak bentrok dengan aparat
Dia menambahkan bahwa proyek ini serupa dengan PLG di era Soeharto, di mana pemerintah kembali memaksakan pertanian di ekosistem gambut, meskipun lahan tersebut tidak cocok untuk produksi padi.
Pantau Gambut mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi dan menghentikan proyek food estate, serta mengambil langkah-langkah rehabilitasi untuk memperbaiki lahan-lahan yang sudah rusak dan terbengkalai. Namun, Kementerian Pertanian justru berencana mencetak lebih banyak sawah di Kalimantan Tengah, dengan target mencapai 621.684 hektare hingga tahun 2026.
Kementerian ini juga menyangkal temuan Pantau Gambut, menyatakan bahwa lahan food estate di Kabupaten Kapuas sudah ditetapkan melalui keputusan bupati dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Meski demikian, di lapangan, petani seperti Sanal dan warga Desa Tajepan lainnya terus mengalami kegagalan panen. Pada tahun 2020, Sanal setuju ketika pemerintah menawarkan lahannya yang sudah tidak digarap selama puluhan tahun untuk dijadikan bagian dari proyek food estate.
Dia berpikir bahwa lebih baik lahannya yang tidak terpakai dijadikan sawah dengan bantuan pemerintah. Namun, setelah beberapa kali mencoba menanam padi varietas unggul yang disediakan oleh pemerintah, hasilnya terus gagal.
Baca juga : Resesi Dan Krisis Pangan Jadi Ancaman Global
Pada tahun 2021, lahan seluas 260 hektare di Desa Tajepan dibuka untuk food estate, namun petani di sana gagal menanam padi karena lahan mereka kerap kebanjiran akibat luapan sungai, dan lahan gambut tidak mampu menyerap air.
Setelah dua kali gagal panen, banyak petani yang merasa jenuh dan akhirnya berhenti mengikuti program food estate. Lahan-lahan yang dulu dibuka untuk food estate kini sebagian besar terlantar dan kembali ditumbuhi semak-semak. Beberapa petani membersihkan lahan untuk menanam tanaman lain seperti jengkol, petai, dan buah-buahan yang lebih tahan terhadap kondisi banjir.
Beberapa lainnya, termasuk Sanal, mulai mengikuti langkah tetangganya dengan menanam sawit, yang dianggap lebih cocok untuk lahan gambut dan memberikan hasil yang lebih baik.
Baca juga :Harga Gandum Menggila, Ancaman Pangan Bagi Global
Pada akhirnya, proyek food estate di Desa Tajepan dan wilayah sekitarnya menunjukkan bahwa menanam padi di lahan gambut yang sering tergenang air adalah tantangan yang sangat berat bagi para petani, dan upaya ini terus-menerus gagal meskipun sudah mendapat dukungan dari pemerintah.(Mas Re)
sumber : bbc news Indonesia