Ketika Sepi Menyergapku, Akupun Menepisnya


Ketika Sepi Menyergapku, Akupun Menepisnya.(foto: yoursay.suara.com)

Oleh: Reko Suroko

SOLO, Mas Reko. com – Ketika sepi menyergapku, padahal aku sudah berusaha menepisnya. Hampir setiap pagi hari aku ngeteh, itu pun membeli di lapak Pak Sawal. Agar aku bisa berbicara dengan siapa pun di lapak itu.

Lantaran berbincang dengan orang tak dikenal, kita terkadang terlihat bloon, atau terkadang menguasai materi perbincangan.

Baca Juga :  Tambahan Kuota Haji 10.000 Tahun Ini Perlu Dikaji

Karena asyik mengobrol dengan materi dari sepak bola hingga burung piaraan Pak Sawal yang ditawar pembeli Rp 2 juta. Burungnya jenis Cicak Hijau.

“Akh, tidak saya produksi. Masih terlalu muda, eman-eman memeliharanya,” kata Pak Sawal.

Ketemu dengan banyak orang dengan banyak karakter. Indah bisa merasakan pagi yang terisi dengan berbagai cerita. Tak ada kecongkakan diri, atau kesombongan bau parfum kelas jalanan. Semuanya tumpah ruah di lapak Pak Sawal.

Beli Cemilan Kucing

Selepas ngeteh aku membeli cemilan untuk keempat kucingku. Biasanya kubelikan ikan asin di dalam besek. Kadang juga bandeng. Dengan duit Rp 10 ribu sudah dapat 12 ekor ukuran kecil. Kalau bandeng, uang Rp 10 ribu dapat empat ekor bandeng presto ukuran kecil.

Baca Juga :  Memprihatinkan, Buruh Migran Indonesia di Tahanan Imigrasi Malaysia

Hampir setiap pagi kulepas uang Rp 15 ribu. Yang Rp 10 ribu untuk cemilan kucing, sedangkan Rp 5 ribu untuk ngeteh di Pak Sawal. Kadang kontes pagi bisa lebih dari Rp 15 ribu, aku beli pisang raja Rp 20 ribu, kadang juga Rp 15 ribu.

Aku tidak pengalaman memilih pisang raja, karena kalau luput dari yang tebal hanya kulitnya, isinya kecil. Akhirnya aku percaya kepada penjualnya saja.

Atau kalau tidak pisang satu lirang, aku membeli jajanan. Ini bisa Rp 10 ribu, kadang juga Rp 5 ribu, tergantung jayanan yang kubeli. Kadang beli jadah dan gendar, ini cukup Rp 5 ribu.

Siapkan Cemilan Kucing

Sesampai di rumah keempat kucingku sudah menunggu cemilannya. Untuk induknya kusediakan piring besar, sedangkan ketiga anaknya piring kecil.

Baca Juga :  Simpang Siur Soal Penambahan Kuota Haji Tahun Ini

Aku lupa kalau mereka itu kucing, tidak bisa membedakan untuk induk atau anak kucing. Namun, anak-anak kucing cukup tahu diri, mereka tidak berani mengambil bagian induknya.

Karena pernah mengambil jatah induknya, induknya langsung menguranginya. Sekarang cukup gereng, maka anak-anak sudah tahu.

Cuci Piring

Sudah hampir empat tahun, istriku telah berpulang, tepatnya 28 Nopember 2018.Lantaran didera penyakit jantung, salah satu katub jantungnya bocor.

Allah menitipkan kepadaku tiga orang anak, yang pertama cewek, sekarang sedang menempuh S-2 di Australia. Anak perempuanku ini bekerja di Dirjen Imigrasi. Dulu merupakan alumni dari Fakultas Sastra Inggris, UNS.

Anakku kedua sudah bekerja di Persis, sebagai Tim Kreatif. Sembari bekerja freelance sebagai desainer grafis. Dia spesialis sebagai ilustrator yang digelutinya.

Baca Juga :   Permainan Lip Service Tengah Diperagakan Mendag Soal Migor Rp 14 Ribu

Anakku yang bungsu masih kuliah di jurusan Ilmu Lingkungan Fakultas MIPA UNS Surakarta. Alhamdulillah ketiga anakku diberi kesempatan oleh Allah untuk menimba ilmu di UNS.

Saat ini yang di rumah ada anak nomor dua dan nomor tiga. Maka aku memposisikan diri di bagian bersih-bersih rumah dan mengurus kucing. Walaupun profesi itu tidak diberikan oleh anak-anak. Just aku yang menginginkannya. Boleh jadi untuk isi kegiatanku.

Aku ingat kisah ustadz Novel, Pasar Kliwon, Solo, bahwa ayahnya marah ketika dilarang mencuci piring. Ternyata melalui cuci piring bisa melakukan sedekah.

Ketika sepi menyergapku, saat aku melakukan apapun, termasuk HP utama. Ketika sepi menyergapku, saat aku kontrol ke dokter sendiri.

Baca Juga : Aku Bersyukur Di Kala Senja Masih Diberi Usia 

Segera kutepis sendiri itu dengan segera mengambil cucian dari mesin cuci. Terima kasih Ya Allah. ***

Berita Terkait

Top