Runyam, Presiden Jokowi Larang Ekspor Minyak Goreng
Mas Reko – Runyam, Presiden Jokowi menghentikan ekspor minyak goreng mulai 28 April mendatang. Menurut presiden, tindakan ini untuk menekan harga minyak goreng dalam negeri.
Minyak goreng Dunia Melambung
Tetapi kebijakan ini rupanya rupanya membuat harga minyak goreng di dunia melambung. Kenaikan harga ini juga dialami ketika Indonesia, produsen dan eksportir minyak goreng sawit terbesar di dunia, melarang ekspor pada Januari lalu.
Seperti dilansir Reuters, harga minyak kedelai berjangka di Amerika Serikat naik di atas 3 persen, mencetak rekor dengan di harga 84,03 sen per pound setelah Jokowi mengumumkan larangan ekspor
India disebut sebagai negara yang terpengaruh cukup parah dengan larangan ekspor Indonesia, karena negara tersebut adalah konsumen minyak goreng sawit terbesar di dunia.
Kebijakan ini sangat disayangkan dan sungguh tidak terduga,” kata Atul Chaturdevi, presiden Solvent Extractors Association of India, organisasi perusahaan minyak goreng di India.
Beberapa pelaku perdagangan minyak goreng mengatakan kini kenaikan harga minyak goreng tidak bisa diprediksi. Tadinya pasar mengandalkan minyak sawit setelah pasokan minyak bunga matahari terganggu akibat perang di Ukraina. Sementara pasokan minyak kedelai masih terbatas.
Adapun larangan ekspor minyak goreng dan minyak sawit mentah oleh pemerintah Indonesia Belum kapan akan berakhir.
“Sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian,” kata Presiden Jokowi saat mengumumkan larangan ekspor minyak goreng dan minyak sawit mentah.
Mengulang Kesalahan Batu Bara
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai keputusan pemerintah menghentikan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng akan mengulang kesalahan stop ekspor mendadak pada komoditas batu bara pada Januari lalu.
“Sebenarnya kalau hanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri, tidak perlu stop ekspor. Yang seharusnya dilakukan cukup kembalikan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) CPO sebesar 20 persen. Kemarin saat ada DMO kan isinya soal kepatuhan produsen yang rendah dan berakibat pada skandal gratifikasi yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung),” kata Bhima seperti dikutip Bisnis, Jumat (22/4/2022).
Pasokan 20 persen dari total ekspor CPO untuk kebutuhan minyak goreng lebih dari cukup. Sehingga menurut dia, tidak tepat apabila pelarangan total ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng dilakukan.
Kacaukan Pasar
Di lain sisi, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menyampaikan, dampak pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng akan berpengaruh terhadap kinerja ekspor.
Meskipun akan mengalami penurunan terhadap ekspor, namun dampaknya terhadap keseluruhan ekspor menurutnya tidak besar.”Kondisi ekspor Indonesia sedang berlimpah sehingga pemerintah berani menghentikan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng,” kata Piter seperti dilansir Bisnis, Jumat (22/4/2022).
Sementara itu Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengaku heran dengan larangan total ekspor CPO dan minyak goreng yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dia heran lantaran menilai larangan ekspor 20 persen saja sebenarnya sudah cukup agar minyak goreng membanjiri pasar. Oleh karena itu, ia menyebut larangan tersebut sebagai kebijakan yang ‘mubazir’.
“Secara politik bagus, tapi untuk apa? Kalau dilarang total terserap semua? 20 persen saja DMO kalau itu terdistribusi ke masyarakat, itu sudah banjir lautan minyak goreng,” terangnya seperti dikutip CNNIndonesia.com, Jumat (22/4) malam.
Tulus mengungkapkan, kebijakan Jokowi itu lebih banyak dampak negatifnya dari pada positif. Toh, kebijakan belum tentu menurunkan harga minyak goreng di pasaran, tapi yang pasti malah akan menutup pendapatan negara dari devisa ekspor.
“Kalau tidak disitribusikan sama saja, pemerintah juga akan rugi sendiri karena kehilangan pajak ekspor, pendapatan ekspor dari mana? Sementara CPO besar nilainya bersama baru bara, bisa engga kehilangan devisa jadi nol persen?” beber dia.
Potensi Perang Dagang
Tulus juga melihat potensi perang dagang RI dengan negara lain. Menurut dia, larangan tersebut akan membuat negara lain protes keras. Pasalnya, Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia dan pasokan internasional sudah terganggu akibat perang Ukraina-Rusia.
“Malah mengacaukan pasar internasional, mungkin perang dengan internasional, mungkin itu maksud Indonesia, dilarang total sehingga harga di pasar internasional juga negara lain terdampak sehingga bisa diturunkan atau apa,” terang dia
Mungkin bisa jadi kayak perang dagang internasional ya, jadi Indonesia melawan harga CPO internasional dengan melarang ekspor, nanti negara lain akan terdampak akan teriak-teriak,” tambah Tulus.
Dia memprediksi kebijakan tersebut hanya akan bertahan sementara saja seperti larangan ekspor batu bara karena besarnya penolakan yang bisa datang dari berbagai pihak.
“Sama saja seperti pemerintah melarang batu bara kan hanya bertahan 4 hari saja, sama ini, saya lihat hanya gertak sambal,” pungkas dia.
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pertumbuhan ekspor Indonesia pada Maret 2022 meningkat menjadi US$26,50 miliar atau 44,36 persen dari 34,14 persen pada bulan sebelumnya. Pertumbuhan ekspor terjadi baik pada komponen migas yakni sebesar 54,8 persen maupun non-migas 43,82 persen.***