Waspadai krisis ekonomi, ditengah klaim ekonomi baik-baik saja
ilustrasi ; roda gigi uero. (Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay)
Oleh: Awalil Rizky, ekonom Bright Institute
Mas Reko—Hari Jumat (6/9/2023) lalu portal Barisan.co menayangkan opini ekonomi yang berjudul Waspadai Krisis Ekonomi . Di dalam artikel ini menyuguhkan ulasan bahwa ekonomi Indonesia tidak sedang baik baik saja.
Jika Anda mencari perkembangan ekonomi yang meroket, maaf Anda akan kecewa. Karena hal itu tidak ditemukan dalam artikel ini, maka sebaiknya Anda nikmati dengan kejernihan pikir. Selamat menikmati.
——–
PEMERINTAH terus menerus mengemukakan ekonomi Indonesia dalam kondisi yang sangat baik dan memiliki masa depan yang cerah. Klaim tersebut kurang didukung fakta dan dinamika ekonomi terkini. Bahkan, terdapat beberapa indikasi ancaman resesi hingga krisis.
“Selama 7 kuartal berturut-turut, Indonesia berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5%,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI pembahasan akhir APBN 2024 akhir bulan lalu. Diklaim sebagai prestasi Indonesia yang berhasil mempertahankan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
Baca yuk : Bermukim di negeri resesi, lantas…
Visi “Indonesia Emas 2045” telah berulang kali dikedepankan Presiden Jokowi. Kembali ditegaskan ketika meluncurkan Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, bulan Juni lalu. Salah satu yang disampaikan saat itu tentang stabilitas bangsa yang harus terjaga.
Program yang disinggung saat itu dan dalam banyak kesempatan lain adalah hilirisasi industri, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) unggul.
Dukungan dari luar pemerintahan pun digalang. Salah satu pihak adalah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Kadin menyusun dan telah menyerahkan buku berjudul “Peta Jalan Indonesia Emas 2045” pada bulan lalu. Tentu bukan momen kebetulan jika penyerahan dilakukan pada acara Malam Apresiasi Nusantara, di Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Kemungkinan alami krisis ekonomi
Pertumbuhan ekonomi selama 7 kuartal terakhir sebenarnya hanya di kisaran 5%. Prakiraan (outlook) Pemerintah sendiri untuk tahun 2023 yang sedang berjalan sebesar 5,1%. Sedangkan target tahun 2024 sebesar 5,2% sesuai asumsi APBN.
Laju demikian masih sangat jauh dari kisaran 7% per tahun, yang sempat dikedepankan. Bahkan belum mengkompensasi “kehilangan” andai tidak pandemi. Mengukur kehilangan tersebut antara lain dengan menghitung seolah tetap tumbuh 5%.
Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi era Pemerintahan Jokowi memang lebih rendah dari era sebelumnya. Pada era 2015-2019 hanya 5,03% per tahun. Jika perkiraan tahun 2023 dan asumsi APBN 2024 tercapai, maka rata-rata era 2020-2024 hanya 3,46% per tahun.
Baca yuk : Kiamat Beras , Siapa pegang kuasa?
Tatkala pandemi melanda, pertumbuhan ekonomi terkontraksi atau minus pada tahun 2020. Bisa dikatakan terjadi resesi berskala sedang. Indonesia pernah mengalami beberapa kali resesi berskala rendah. Pernah mengalami resesi berskala tinggi yang dikenal sebagai krisis ekonomi pada tahun 1998.
Resesi berskala sedang dan krisis ekonomi cenderung tidak terduga sebelumnya, namun terdapat beberapa indikasi yang mengisyaratkan peningkatan kemungkinannya. Indikasi tersebut telah mulai tampak setahun terakhir. Risiko resesi berskala sedang bahkan tinggi meningkat pada akhir tahun ini dan tahun 2024 mendatang.
Pertama, ada ancaman krisis pangan dunia, tidak seimbangnya antara permintaan dengan penawaran atau pun berupa kenaikan harga yang signifikan. Padahal, kondisi produksi pangan Indonesia tidak membaik selama beberapa tahun terakhir. Kebutuhan impor meningkat dengan harga yang lebih tinggi.
Contoh produksi padi
Sebagai contoh, produksi padi Indonesia mengalami stagnasi selama beberapa tahun terakhir. Produksi tahun 2022 sebanyak 54,75 juta ton, setara dengan produksi tahun 2019-2021. Bahkan lebih rendah dari produksi tahun 2018 yang mencapai 59,20 juta ton.
Baca yuk : Pembelian beras di toko ritel dibatasi 10 Kg per hari
Dibanding dengan produksi tahun 2010 atau selama 12 tahun terakhir, tercatat hampir semua produksi tanaman pangan menurun drastis. Produksi kedelai sebesar 33,24%, produksi kacang tanah sebesar 48,76%, produksi kacang hijau sebesar 45,44%, produksi ubi kayu sebesar 62,51%, dan produksi ubi jalar sebesar 73,67%.
Kedua, ada ancaman krisis energi dunia, terutama karena gangguan kondisi politik regional di kawasan tertentu. Padahal kondisi ketahanan energi Indonesia tidak mengalami perbaikan selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan harga energi, terutama BBM, dapat menjadi pemicu perburukan kondisi ekonomi.
Ketiga, ada ancaman pelarian modal ke luar Indonesia. Transaksi Finansial yang terdiri dari investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya cenderung membukukan arus masuk bersih atau surplus selama bertahun-tahun. Bahkan, ketika dialami pandemi covid-19 pada tahun 2020 dan 2021, masih bersifat surplus meski lebih sedikit.
Perubahan arah modal fiansial
Perubahan arah modal finansial terjadi pada tahun 2022. Transaksi Finansial mengalami arus neto keluar Indonesia sebesar US$8,33 Miliar. Kondisi ini pertama kali dialami sejak tahun 2009. Bahkan, merupakan rekor defisit terlebar selama dua dekade terakhir.
Baca yuk : Waspada, jeratan Kereta Cepat Jakarta -Bandung bikin sengsara
Investasi portofolio antara lain berupa saham, obligasi korporasi, dan Surat Berharga Negara. Kelompok Investasi Lainnya antara lain berupa: uang dan simpanan, pinjaman, piutang datang dan uang muka. Keduanya memang sensitif dengan kondisi ekonomi terkini dari perekonomian global maupun ekonomi Indonesia.
Investasi Portofolio pada triwulan II-2023 telah ke luar, melanjutkan kondisi tahun 2022 yang bersifat keluar sebesar US$8,47 Miliar. Investasi Lainnya pada semester I-2023 tercatat neto keluar US$9,02 Miliar. Melanjutkan kondisi pada tahun tahun 2022 yang bersifat keluar sebesar US$14,72 Miliar.*** (Reko Suroko)
Sumber : Barisan.co