Negeriku Sedang Gaduh Mafia Minyak Goreng
Mas Reko – Negeriku sedang gaduh mafia minyak goreng. Dulu, minyak goreng langka gaduh, kini mafia minyak goreng terbongkar gaduh. Negeriku memang gemar membuat kegaduhan.
Aku sedang menanti kegaduhan baru, jika pertalite naik dan gas LPG 3 Kg juga naik, pasti negeriku semakin gaduh.
Kenapa gaduh?
Jelas gaduh, saat Pertamax harga Rp 12.500, pertalite sudah langka. Kenaikan dua komoditas itu akan memantik inflasi. Menkeu Sri Mulyani sudah memberi ancer-ancer angka inflasi 5,5.
Maling Teriak Maling
Apa jadinya jika angka itu hadir di tengah-tengah kita? Artinya, Inflasi itu menggerus daya beli masyarakat menjadi lemah. Sedangkan inflasi mengurangi nilai uang kita. Nilai uang kita Rp 10 ribu entah akan menjadi berapa.
Tentu, pembaca ingat Mendag M. Lutfi yang menyuarakan mafia minyak goreng. Dia sendiri, di lain kesempatan, yang angkat tangan alias menyerah menghadapi mafia.
Minyak goreng curah yang punya HET maksimal Rp 13.000 menghilang, minyak goreng premium dan kemasan lain melimpah. Setelah Presiden, Ir. Jokowi, mencabut HET jenis ini.
Minyak goreng melimpah, namun harga per liternya nyaris dua kali lipat. Diduga marark pengemasan minyak goreng curah. Pengawasan lemah, muncul merek- merek baru.
Hampir semua media, media online, media cetak atau media elektronik serta media sosial memberitakan penangkapan mafia minyak goreng.
Setelah bikin pusing masyarakat akibat kelangkaan dan harga yang meroket, Jaksa Agung RI akhirnya menetapkan empat orang tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO/ minyak sawit mentah) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022.
Dari keempat tersangka tersebut, tiga di antaranya berasal dari pihak pelaku usaha, yang mana salah satunya berasal dari produsen minyak kelapa sawit utama dunia, Wilmar International.
Master Parulian Tumanggor (MPT) yang merupakan Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia resmi ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi tersebut.
Kasus ini tentu ikut mencoreng nama Wilmar yang dalam laporan tahunan 2021 lalu mengklaim sebagai produsen terbesar minyak goreng kemasan bermerk di Indonesia.
Produk minyak goreng perusahaan yang dijual bebas di pasar Indonesia dan dekat dengan masyarakat adalah merek Sania dan Fortune. Selain itu produk lain yang dikeluarkan Wilmar termasuk Siip, Sovia, Mahkota, Ol’eis, Bukit Zaitun dan Goldie. (CNBC.Indonesia.Com, 20/4/2022)
Membongkar Mafia, Menyeret Bos Migor
Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen PLN Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana, menjadi tersangka kasus korupsi terkait pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah yang merupakan bahan baku minyak goreng.
Selain Indrasari, Kejaksaan Agung juga menetapkan tiga tersangka lain dari pihak swasta. Mereka adalah Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group berinisial SMA; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT; serta General Manager PT Musim Mas berinisial PT.
Menurut Jaksa Agung Burhanuddin, perbuatan para tersangka diduga menjadi penyebab kelangkaan serta mahalnya harga minyak goreng beberapa waktu lalu yang berdampak pada kerugian negara. “Adanya pemufakatan antara pemohon dan pemberian izin soal ekspor,” jelas Burhanuddin di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (19/4).
Menanggapi kasus tersebut, ekonom Faisal Basri menyebutnya maling teriak maling.
“Ini namanya maling teriak maling,” kata Faisal Basri melalui akun Twitternya yang menanggapi soal berita tersebut, Selasa (19/4)
Jaksa Agung ST Burhanudin mengatakan bahwa perbuatan tersangka mengakibatkan kerugian perekonomian negara.
“Perbuatan tersangka tersebut mengakibatkan timbulnya kerugian perekonomian negara atau mengakibatkan kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng dan menyulitkan kehidupan rakyat,” kata Burhanudin di kantornya.
Yang berteriak Mendag, yang tertangkap Dirjen Perdagangan Luar Negeri. Mungkin ini yang disebut maling teriak maling oleh ekonom Faizal Basri.***