Warga Adat di Rempang, terdapat saat sebelum Indonesia


Pulau Rempang, sebelum bentok warga dan aparat. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

Batam, (Mas Reko)— Kampung Tanjung Banun, Kecamatan Galang, Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, hening Masyarakat memilih tinggal di rumah, sehari pasca bentok masyarakat serta aparat, 7 September kemudian Mereka penuh was-was. Kampung pesisir ini posisi menjadi di awal relokasi warga adat yang telah tinggal di situ menyusut

Masyarakat tampak curiga

Ketika hingga di Tanjung Banun, sebagian anak mengintip dari jendela. Masyarakat pula nampak curiga. Terdapat yang langsung bertanya. “kamu dari mana,” ucap Yahya, dengan logat Melayu.

Baca yuk: Rempang dulu damai dan tenang, sekarang mencekam

“Kami ni, khawatir jangan-jangan kamu ni anggota Pak Rudi (Kepala BP Batam),” kata masyarakat lain.

Tidak cuma khawatir hendak rencana penggusuran buat pembangunan Rempang Eco-city, mereka pula memperoleh data polisi mencari masyarakat yang turut aksi. Data ini membuat mereka khawatir serta bersembunyi.

Ada sebelum Indonesia

Naharuddin, tetua kampung menceritakan sejarah Tanjung Banun. Seingat Naharuddin dari cerita ibu dan bapaknya Tanjung Banun telah jauh terdapat saat sebelum terdapat Indonesia.

“Ketika itu hari Jumat, Jepang turun ke Tanjungpinang dahulu Tanjung Banun tercantum Tanjung Pinang), tahun 1942, kampung ini telah terdapat sebagian rumah,” kata laki-laki yang biasa dipanggil Pak Itam itu.

Saudaranya, Siah telah berusia 94 tahun lahir di situ “Itu kakak aku aku lahir 1944, kakak aku lahir 1934,” ucap Pak Itam menunjuk kakaknya yang terbaring di ruang tamu.

Anak Siah pula menunjukkan Siah kala bercorak kuning. namun kenapa kami ini tidak sempat dikira selaku kampung tua?” kata Pak Itam.

Baca yuk: Pulau Lepas ke Investor, Warga Rempang Tak Mau Relokasi

Pak Itam pula menunjukkan surat-surat fakta mereka telah lama di Tanjung Banun. Salah satu pesan pembayaran pajak bumi serta bangunan tahun 2016. Kala itu ia membayar pajak Rp200.000.

Sejarah kampung

Nilai sejarah kampung itu yang membuat Baharuddin serta keluarga lain menolak relokasi. “ Cocok dengar kami ingin digusur itu, kami terkejot , berdenyut jantung ayah tidurpun tidak nyenyak, gimana nasib kami telah ratusan tahun disini, ingin dipindahkan kemana kami,” katanya.

Mak Itam berharap masyarakat Tanjung Banun tidak digusur. “Jangan pindahkan kami, itu saja pinta kami, pemerintah tidak harus gelisah kami, kami tidak butuh rumah jenis apapun

Baharuddin berkata warga Tanjung Banun tidak sempat menolak pembangunan. Tetapi ia pinta kepada pemerintah serta industri PT Makmur Elok Graha, buat menyisakan lahan buat kampung.

“Kampung di Rempang ini tidak hingga 2 hektar, yang 15.000 hektar silakan bangunlah,” katanya.

Syamsurizal Bujur pula mengutarakan perihal sama. Ia Kampung Sembulang asli. Bujur tidak banyak bicara, cuma menampilkan makam nenek nenek moyang masyarakat kampung di Pemakaman Angkatan laut (AL) Fajri, Kelurahan Sembulang.

Baca yuk : PB NU Soal Rempang: Rakyat jangan dikorbankan

Nampak di komplek makam itu ada makam dengan batu nisan bertuliskan Nipis 1958. Arah satu Makam Nipis berbeda dengan yang lain, tidak menghadap kiblat.

“Ini memanglah momen yang berbeda, menampilkan jika era itu belum tau arah kiblat, kompas belum terdapat kata Syamsurizal.

Balikkan fakta

Ia geram dengan pemerintah mengatakan masyarakat tidak mempunyai surat-surat. Apalagi diucap Rempang ini hutan buru serta lain-lain.

Jika dibilang ini hutan, mengapa kami dapat pegang pesan terdapat pemerintah yang ciri tangan masa itu, setelah itu terdapat pula pesan dari kepala desa sehabis itu, namun saat ini tidak terdapat sama sekali,” katanya.

Naharuddin-tetaua-yang-ada-di-Rempang-melihat-keluar-dari-jendela-Masjid-di-Kampung-Tanjung-Banun-Pulau-Rempang-Kota-Batam.-Foto-Yogi-Eka-Sahptutra-

Baik Syamsurizal, Baharuddin, serta masyarakat lokal Rempang lain telah semenjak lama memohon ke Pemerintah Kota Batam—Pemerintah Batam maupun BP Batam— sertifikat tanah mereka itu namun tidak kunjung diberikan.

“Alibi mereka satu, status quo, itu saja sebabnya kamipun tidak tau, rupa-rupanya kami tidak diberikan sertifikat supaya gampang mengusir kami semacam saat ini ini.”

Eko Cahyono, periset Sajogyo Institute, berkata dalam Undang-undang Pokok Agraria telah jelas jika terdapat warga 20 tahun berturut-turut tinggal disana mereka telah memiliki hak tanah. jika telah ratusan tahun mereka disitu sepatutnya diberikan sertifikat tanah,” kata Eko.

Sayangnya, kata Eko, saat ini seluruh terbalik seakan negeri yang memiliki seluruh ini. Sementara itu negeri terdapat sebab warga lokal Melayu itu.

Baca yuk: Muhammadiyah Desak PSN Rempang Eco-City Dicabut: Sangat Bermasalah

“Ini terbalik, saat ini di banyak tempat, warga adat meminta ke negeri buat diakui. Hukum agraria itu sepatutnya melindungi keadilan rakyat, saat ini melindungi siapa?”. (Reko Suroko)

 

Sumber : Mongabay, edisi 16 Septe,ber 2023

Berita Terkait

Top