Larang Ekspor Minyak Goreng, Bagaikan Mengobati Ketombe Dengan Mengamputasi Kaki
Oleh : Reko Suroko
Minyak goreng memang licin, mudah menggelincirkan siapa saja. (foto : CNBC Indonesia)
Mas Reko – BAGAIKAN mengobati ketombe dengan mengamputasi kaki. Itulah perumpamaan yang digunakan Muhammad Said Didu, mantan Stafsus Menteri ESDM, dalam merespon kebijakan Presiden Jokowi.
Kebijakan tentang larangan ekspor CPO dan minyak goreng yang mulai berlaku 28 April mendatan
Said Didu menambahkan, kebijakan larangan tersebut untuk menurunkan harga minyak goreng kurang tepat.
Baca juga:Maudy Ayunda Jubir G -20, Dianggap Kesombongan dan Gimik
“Kebijakan larangan ekspor CPO (Crude Palm Oil) dan minyak goreng untuk untuk menurunkan harga minyak goreng, bagaikan mengobati ketombe dengan cara mengamputasi kaki,” tulis Said Didu di twitternya.
Pasalnya, menurut Said Didu, harga minyak goreng bisa dilakukan dengan cara gunakan dana pengutan ekspor CPO untuk subsidi minyak goreng sama seperti subsidi biosolar.
“Harga minyak goreng sangat gampang diturunkan dengan cara gunakan dana pungutan ekspor CPO untuk subsidi minyak goreng seperti subsidi biosolar,” sambungnya.
Korupsi Ekspor CPO Tidak Manusiawi
Sementara itu Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan menanggapi keberhasilan Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap dan menetapkan empat orang tersangka kasus korupsi terkait ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, minyak goreng, pada 19 April 2022.
Menurutnya, Peraturan ekspor CPO ini juga terindikasi melanggar peraturan kewajiban penyediaan bahan baku dalam negeri dengan harga tertentu, yang dikenal dengan DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation) yang masing-masing ditetapkan sebesar 20 persen dari jumlah ekspor dengan harga Rp 9.300 per kg.
Anthony Budiawan menambahkan, dampak korupsi pelanggaran ekspor ini mempunyai daya rusak sangat serius bagi kehidupan rakyat Indonesia.
Dia menyebut minyak goreng tiba-tiba menjadi langka, meneror kehidupan masyarakat hampir di seluruh Indonesia. Terjadi antrean panjang, pembelian dijatah hanya boleh 2 liter per penduduk, dan harus melampirkan KTP dan KK.
Baca juga :Negeriku Sedang Gaduh Mafia Minyak Goreng
“Antrean panjang memerlukan waktu berjam-jam hanya untuk bisa membeli dua liter minyak goreng. Bahkan menurut kabar ada dua orang meninggal dunia akibat antrean yang sangat melelahkan,” kata Anthony, Sabtu (23/4/2022) seperti dikutip JPNN.
Untuk mengatasi tragedi minyak goreng akibat korupsi ekspor tersebut, pemerintah malah mengambil kebijakan yang merugikan masyarakat luas. Pemerintah membatalkan DMO dan DPO, dan menetapkan harga minyak goreng kemasan mengikuti harga pasar.
Harga kemudian melonjak dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebelumnya ditetapkan Rp 14.000 per liter menjadi sekitar Rp 24.000 hingga Rp 28.000 per liter.
Baca juga :Ngeri, Setelah Minyak Langka, Giliran Mie instan
Anthony Budiawan mengatakan dampak korupsi pelanggaran ekspor ini mempunyai daya rusak sangat serius bagi kehidupan rakyat Indonesia.
“Meskipun minyak goreng curah ditetapkan Rp 14.000 per liter, tetapi di beberapa daerah sulit didapat dan sering kali harganya jauh melampaui Rp 14.000 per liter,” tegas Anthony.
Menaikkan Pungutan
Pada saat bersamaan dengan penghapusan DMO/DPO, pemerintah menaikkan pungutan ekspor dan bea keluar CPO yang membuat penerimaan negara naik (maksimum) 300 dolar AS per ton, kalau harga CPO mencapai 1.500 dolar AS per ton atau lebih.
Dia menilai kedua paket kebijakan ini sangat menyakitkan dan tidak adil. Menurut dia, kebijakan tersebut sama saja negara merampas hak rakyat di tengah kesulitan keuangan akibat kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok.
Dengan terbukanya dan tertangkapnya empat tersangka kasus korupsi ekspor CPO dan pelanggaran DMO/DPO yang mengakibatkan kegaduhan nasional, masyarakat Indonesia dapat melihat jelas betapa serakahnya pengusaha oligarki minyak sawit dan minyak goreng.
Tak Punya Empati
Mereka tidak mempunyai empati sama sekali terhadap kesulitan masyarakat Indonesia yang sedang tercekik kenaikan harga berbagai kebutuhan bahan pokok,” kata Anthony Budiawan.
Kenaikan harga CPO internasional sudah membuat keuntungan mereka melonjak drastis, tetapi sepertinya tidak pernah cukup.
“Mereka tidak rela menjalankan DMO dan DPO untuk meringankan beban ekonomi masyarakat Indonesia, yang berdasarkan konstitusi adalah pemilik negeri ini: bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya wajib digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, ” seperti dikutip JPNN.
Dengan kata lain, korupsi ekspor CPO ini mencerminkan bahaya pemerintahan oligarki yang bisa mengatur kebijakan pemerintah.
“Mereka bisa sangat kejam terhadap rakyat jelata dengan turut menentukan kebijakan publik pemerintah untuk kepentingan kelompoknya. Melakukan ekspor dan melanggar kewajiban DMO dan DPO, yang akhirnya membuat barang di dalam negeri menjadi langka,” tegas Anthony Budiawan.
Sebab kasus korupsi ekspor CPO ini jelas-jelas menguntungkan korporasi yang melakukan ekspor dengan harga yang tinggi, maka Kejaksaan Agung juga wajib mempertimbangkan apakah kasus ini masuk kategori kejahatan korporasi, dan mempunyai konsekuensi pemerintah dapat mencabut izin usaha korporasi tersebut.
Usut Tuntas
Selain itu, Kejaksaan Agung juga wajib mengusut apakah ada pihak afiliasi dari direksi atau pemegang saham yang berdomisili di luar negeri diuntungkan dari kasus korupsi ekspor CPO ini.
Menurut Kejaksaan Agung ada 88 perusahaan yang melakukan ekspor CPO dan turunannya selama periode Januari sampai Maret 2022.
“Oleh karena itu, Kejaksaan Agung wajib mengusut tuntas apakah mereka melanggar peraturan DMO/DPO,” kata Anthony Budiawan. ***