Penyesalan Menteri Basuki soal Tapera


“Pemerintah jelas memutuskan aturan tersebut secara sepihak, tanpa prinsip demokrasi dan musyawarah,” kata Sunarno pada Selasa (28/5).

Menteri (PUPR) Basuki Hadimuljono menyesal terkait kemarahan masyarakat atas Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). (Biro Pers Sekretariat Presiden).

Jakarta, (Mas Reko)—Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengungkapkan penyesalannya atas kemarahan masyarakat terkait Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). “Dengan kemarahan ini, saya pikir saya benar-benar menyesal,” ujarnya pada Kamis (6/6).

Baca juga : Kontroversi Tapera: Antara Janji Pemerintah, Keberatan Pengusaha, dan Penolakan Pekerja

Basuki menyatakan kesediaannya untuk menunda program tersebut, seraya menambahkan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani juga telah menunjukkan kesediaan yang sama. Namun, ia menekankan bahwa permintaan untuk menunda program tersebut harus disampaikan oleh DPR sesuai mekanisme yang berlaku.

Basuki menjelaskan bahwa Program Tapera didasarkan pada UU Tabungan Perumahan Rakyat yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2016. “Sebenarnya UU ini sudah ada sejak 2016. Ibu Menkeu telah membangun kredibilitasnya. Namun, sekarang malah kepercayaan publik yang dipertaruhkan… Maka dari itu, kami tunda hingga 2027. Menurut saya, jika memang belum siap, mengapa harus tergesa-gesa,” jelasnya.

Baca juga : Pakar tentang Keputusan Jokowi Berlakukan Tapera: Apa Hak Negara Mengatur Keuangan Swasta?

Basuki menambahkan bahwa jika ada usulan dari DPR untuk menunda program tersebut, ia sudah berkomunikasi dengan Menteri Keuangan dan mereka siap mengikutinya.

Pemerintah berencana mewajibkan pekerja, baik mandiri maupun swasta, untuk menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat mulai Mei 2027. Peserta harus membayar iuran sebesar 3 persen dari gaji mereka, di mana 0,5 persen dibayar oleh pengusaha dan 2,5 persen dipotong dari gaji pekerja setiap tanggal 10.

Program ini mendapat kritik dari buruh dan pengusaha. Ketua Umum Konfederasi KASBI, Sunarno, mengungkapkan bahwa serikat buruh tidak pernah diajak berdialog oleh pemerintah terkait Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.

“Pemerintah jelas memutuskan aturan tersebut secara sepihak, tanpa prinsip demokrasi dan musyawarah,” kata Sunarno pada Selasa (28/5).

Baca juga : Daya beli makin melemah, Tapera dipaksakan

Ia menilai pemerintah terlalu gegabah dalam membuat PP 21 dan tidak memahami kesulitan yang dihadapi buruh, seperti upah rendah, status kerja rentan, pemberangusan serikat buruh, sistem kerja outsourcing, dan kondisi K3 yang buruk.

Sunarno juga mengatakan potongan gaji buruh saat ini sudah sangat besar, tidak sebanding dengan kenaikan upah yang kecil. Ia merinci berbagai potongan yang sudah diambil dari gaji buruh, dan menambahkan bahwa potongan untuk Tapera akan semakin membebani buruh. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada pengadaan rumah untuk buruh melalui anggaran negara, bukan dengan memotong gaji buruh sebagai modal investasi. Ia mencurigai bahwa pemotongan gaji untuk Tapera hanyalah modus politik untuk kepentingan rezim oligarki.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga tegas menolak Tapera, terutama karena mewajibkan pekerja swasta untuk menjadi peserta. Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menegaskan bahwa Apindo telah keberatan dengan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera sejak awal. “Kami dengan tegas keberatan diberlakukannya UU tersebut,” ujar Shinta pada Selasa (28/5).

Baca juga : Tapera tak mungkin dibatalkan, ini kata Erlangga

Shinta meminta pemerintah mempertimbangkan kembali Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. Ia menilai Tapera tidak diperlukan, dan pemerintah seharusnya bisa memanfaatkan dana potongan BPJS Ketenagakerjaan yang sudah dipotong dari gaji pekerja untuk membantu pembiayaan perumahan bagi rakyat. “Pemerintah diharapkan dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan,” kata Shinta.

Berita Terkait

Top