Secangkir ‘Perkosaan’ Di dalam Cawan
Membangkitkan daya kreativitas, termasuk menulis membutuhkan daya ‘perkosa’. (foto :pexels .com)
SOLO (Mas Reko.com)-SUNGGUH benar yang diungkapkan sahabatku, Dodo, bahwa untuk menulis tanpa dibayar dan tanpa target adalah satu hal yang berbeda sekali. Bila dibandingkan dengan menulis ada bayarannya atau dibayar.
Baca Juga : Ketika Kujalani Operasi Kista Ginjal Ternyata….
Menulis tanpa dibayar itu membutuhkan disiplin dan tanggung jawab, tanggung jawab ini kepada diri sendiri. Karena tulisan ini akan dipublikasikan ke website pribadi, dalam hal ini Masreko.com
Sekadar hobi
Ada cerita tentang kebosanan, ada cerita kemalasan, jika itu terjadi saat masih bergulat hidup di dunia kerja jurnalistik, maka “kematian” yang bakal terjadi.
Jika sekarang itu terjadi maka kebosanan dan kemalasan harus “diperkosa” di dalam cawan. Agar cawan tetap terisi ketrampilan menulis. Ketrampilan yang mungkin tidak semua orang memiliki kemampuan untuk terampil menulis.
Menulis tanpa dibayar ini bukan berarti tulisannya tak menggunakan kaidah-kaidah menulis. Justru penulis seperti aku berhati-hati dalam pilihan kata atau kalimat, agar aman jerat pasal.
Aku merasa beruntung selama 26 tahun berkecimpung di dunia jurnalistik. Sehingga aku tetap terikat kaidah-kaidah kode etik jurnalistik, walaupun tidak ada yang mengharuskan begitu. Namun, untuk pengamanan diri sendiri.
Baca Juga : Ketika Sepi Menyergapku, Akupun Menepisnya
Membangun website sendiri juga bukan hal mudah, mengisinya yang terkadang diserang ‘rasa malas’. Seperti yang terjadi pada diriku, sudah lama tidak menulis, setelah didera penyakit kista ginjal.
Apalagi usiaku sudah tidak muda lagi, sehingga desakan ingin rebahan menggangguku. Tentu tidak elok usia kujadikan alasan untuk menulis. Usia 63 tahun tentu sudah termasuk usia senja, kalau tidak mau dibilang tua. Atau sebutlah senior, seperti yang ditulis oleh para wartawan di Semarang.
Cerita Dalam Cawan
Di dalam wiktionary arti cawan adalah mangkuk nasi, sengaja aku pilih kata itu sekadar memperindah bunyi di akhir kata. Tiada maksud lain.
Tentu menjadi banyak cerita yang terdapat dalam semangkuk cawan. Dalam tulisan ini kali aku bercerita tentang kemalasanku menulis. Tentu, ini bukan cerita yang istimewa, tapi cenderung ke cerita yang remeh temeh, pinjam istilah Dodo mantan jurnalis.
Jika Anda menanyakan obatnya apa agar tak malas? Menurutku, untuk mengobati rasa malas, penderita malas ini perlu mendiagnosa diri , sebelum menemukan obatnya.
Baca Juga : Rupanya Aku Tak Muda Lagi, Aku Lansia
Perasaan malas menjadi virus yang cepat melumpuhkan minat apapun. Sifat malas bagi setiap orang berbeda kadarnya. Mungkin minat menulis akan kembali lagi setelah ada kebutuhan.
Kebutuhan bagi penulis profesional adalah finansial, namun bagi penulis hobi seperti saya hanya perlu ‘dipecut’. Tak menulis, tak ada karya. Tiada karya, maka tak memiliki apapun, jika ‘berpulang’. Padahal pepatah mengatakan, gajah mati tinggalkan gading, harimau mati tinggalkan belulang. Manusia mati tinggalkan karya, dan karya ini bisa apa saja.
Maka, penulis seperti saya selayaknya menulis apapun dengan seindah mungkin. Seorang sahabat pernah mengatakan, kamu salah satu orang yang beruntung dianugerahi kemampuan menulis. Tidak semua orang memilikinya. Benarkah? (Reko Suroko)