Sejumlah organisasi masyarakat sipil termasuk ICW desak Polri buka data ‘Pegasus’
Alat sadap dengan metode “zero-click” seperti Pegasus dapat dipasang di ponsel target tanpa sepengetahuan si target.(foto : Getty Image)
Jakarta, (Mas Reko)—Sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW), mendesak Polri untuk membuka informasi mengenai pengadaan alat sadap dengan metode “zero-click”, yang menurut mereka dapat mengancam demokrasi.
Demikian media asing BBC News di Indonesia mengabarkan hal itu, Selasa (10/10/2023).
Baca yuk : Hasil laut Pulau Rempang melimpah, warga bisa untung hingga jutaan rupiah dari teripang
Alat sadap itu berupa perangkat lunak yang dapat dipasang di ponsel target secara diam-diam dan si target tidak perlu mengeklik apapun. Para pegiat kebebasan sipil khawatir alat ini berpotensi digunakan untuk membungkam demonstran dan jurnalis.
Konsorsium Indonesia Leaks
Permohonan keterbukaan informasi ini merupakan lanjutan dari laporan investigasi Konsorsium IndonesiaLeaks Juni lalu, yang menemukan indikasi pengiriman alat sadap Pegasus ke Indonesia.
Polri belum menanggapi permohonan informasi ini. Namun, merespons laporan IndonesiaLeaks, seorang pejabat Polri telah mengatakan pernah menggunakan alat sadap zero-click tapi bukan Pegasus.
ICW kirim surat ke Humas Polri
Pada Senin (09/10) siang, ICW menyampaikan surat permohonan keterbukaan informasi kepada Divisi Humas Polri.
Permohonan itu berasal dari sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Kepolisan – antara lain ICW, KontraS, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Baca yuk : Masyarakat Pulau Mubut khawatir, dampak pabrik kaca Pulau Rempang ke wilayahnnya
Mereka meminta detail mengenai pengadaan alat sadap zero-click intrusion system di Mabes Polri pada tahun 2018 senilai Rp149 miliar, yang tendernya dimenangkan oleh PT Radika Karya Utama.
Informasi tender dipajang
Informasi mengenai tender tersebut dipajang di Opentender.net, platform yang dikembangkan ICW berdasarkan data dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Pada Juni lalu, laporan investigasi Konsorsium IndonesiaLeaks yang terdiri dari Majalah Tempo, Koran Tempo, Tempo.co, Jaring.id, Suara.com, Independen.id, dan Bisnis Indonesia menemukan indikasi bahwa Pegasus, alat sadap milik perusahaan NSO group asal Israel, telah masuk ke Indonesia dan diduga pernah digunakan oleh Polri dan BIN. Alat sadap ini terkenal dengan metode zero click.
Peneliti ICW, Diky Anandya, mengatakan kepada BBC bahwa organisasi masyarakat sipil berharap bisa mendapatkan setidaknya rencana umum pengadaan alat sadap zero-click di Polri serta kerangka acuan kegiatan.
“Dari situ setidaknya kita bisa lihat spesifikasi teknis yang mereka pesan pada tahun 2018 itu apa saja, dan itu mungkin bisa kita gunakan sebagai basis apakah Polri menggunakan alat sadap berjenis Pegasus atau bukan,” ujarnya.
Baca yuk : Ketika APBN dijaminkan utang kereta cepat, maka ketidakadilan sedang terjadi
Apa itu Pegasus?
Pegasus adalah perangkat berbasis software yang dirancang untuk diam-diam mengumpulkan informasi dari ponsel sasaran. Spyware ini dapat membaca teks dan email, memantau penggunaan aplikasi, melacak lokasi data, dan mengakses mikrofon dan kamera gawai.
Pegasus dapat dipasang di ponsel Android atau IOS dari jarak jauh.
Salah satu caranya adalah melalui missed call WhatsApp, dan kemudian segera menghapus riwayatnya, sehingga si pengguna ponsel tidak merasa ada yang salah.
Cara ini lebih tersembunyi daripada kebanyakan spyware, yang biasanya mengharuskan sasaran mengklik tautan atau membuka pesan tertentu. Karena itu, Pegasus disebut menggunakan metode zero-click.
Pegasus dilisensikan oleh pembuatnya, NSO Group, kepada pemerintahan di seluruh dunia. Perangkat ini dimaksudkan agar digunakan sebagai alat surveilans untuk upaya-upaya penegakan hukum.
Namun, dalam praktiknya, alat ini pernah digunakan untuk menyasar demonstran, aktivis, dan jurnalis.
Pada Juli 2022, Pegasus ditemukan di ponsel puluhan anak muda di Thailand yang terlibat dalam unjuk rasa pro-demokrasi yang menuntut reformasi politik dan monarki.
Baca yuk : Kepala BP Batam diam, ketika dituding bekingi dalam konflik Pulau Rempang
Perangkat ini juga dilaporkan pernah digunakan untuk menyasar ponsel orang-orang terdekat Jamal Khashoggi, jurnalis asal Arab Saudi yang dibunuh di kantor konsulat di Istanbul, Turki.
Apa kekhawatiran para aktivis?
Diky Anandya dari ICW mengatakan banyak organisasi masyarakat sipil khawatir bahwa alat sadap seperti Pegasus dapat disalahgunakan oleh penguasa menjadi alat untuk membungkam atau bahkan mengkriminalisasi demonstran dan jurnalis.
Hal seperti ini, imbuhnya, dapat membahayakan demokrasi.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Organisasi pemantau keamanan digital SAFENet telah mencatat bahwa peretasan akun media sosial dan WhatsApp kerap terjadi pada kelompok kritis di Indonesia.
Pada 2018, surat kabar Israel bahkan melaporkan bahwa Pegasus digunakan di Indonesia untuk membuat basis data kelompok LGBT dan kelompok agama minoritas.
“Tentu kami tidak menginginkan hal seperti itu terjadi di Indonesia. Tentu kami menginginkan Polri bisa secara transparan dan akuntabel bahwa mereka tidak menggunakan alat-alat yang bisa digunakan untuk operasi pembungkaman,” Diky menjelaskan.
Baca yuk : Waspada, jeratan Kereta Cepat Jakarta -Bandung bikin sengsara
Sampai berita ini diterbitkan, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, belum menjawab permintaan komentar dari BBC. “Saya tanyakan dulu,” katanya dalam pesan singkat.
Namun, Kepala Divisi Teknologi, Informatika, dan Komunikasi Polri, Inspektur Jenderal Slamet Uliandi, telah mengatakan kepada tim Indonesia Leaks Juni lalu bahwa lembaganya memang pernah menggunakan alat sadap dengan metode zero click, namun tidak pernah menggunakan Pegasus.
Dalam wawancara yang dimuat di Majalah Tempo, Slamet mengatakan alat sadap yang didatangkan Polri pada 2017 dan 2018 merupakan intrusion system.
Slamet juga membantah bahwa Polri menggunakan spyware atau malware, menyebut perangkat tersebut hanya digunakan oleh peretas atau hacker
Bagaimanapun, Diky Anandya dari ICW berkeras bahwa meskipun kepolisian sudah pernah membantah bahwa alat sadap yang mereka gunakan adalah Pegasus, ada kemiripan terkait dengan instrumen yang digunakan.
Baca yuk : Di toko ritel beras jenis ini dibatasi maksimal hanya @ 10 Kg
Dia menegaskan bahwa permohonan keterbukaan informasi sudah sejalan dengan undang-undang, yaitu Pasal 11 Ayat 1 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta Pasal 15 Ayat 9 Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik.(Reko Suroko)
Sumber: BBC News Indonesia