Tren PHK Industri Tekstil: Apakah Benar Relokasi dan Automasi Menjadi Penyebabnya?


Workers at a garment factory in Guangzhou, China, on Thursday, Feb. 9, 2023. In downtown Guangzhou, the southern metropolis that’s home to China’s largest garment wholesale markets, factory owners and recruiters say workers are reluctant to come back, scarred by the experience of long lockdowns, no wages and violent protests during China’s efforts last year to stamp out the virus. Photographer: Qilai Shen/Bloomberg

lustrasi buruh pabrik garmen. (Qilai Shen/Bloomberg)

Jakarta, (Mas Reko)– Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, menyatakan bahwa relokasi pabrik bukanlah penyebab utama kesulitan dalam penyerapan tenaga kerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Menurutnya, penerapan automasi dalam industri ini juga tidak menghalangi kesempatan kerja.

Baca juga: Klaim Ekonomi RI Membaik, Pabrik Tutup dan PHK Meluas

“Relokasi industri seharusnya dapat menyerap tenaga kerja. Automasi tidak menjadi penghalang karena masih ada peluang pekerjaan bagi tenaga ahli permesinan, terutama dalam mendukung program Industry 4.0,” kata Jemmy kepada Bloomberg Technoz akhir pekan lalu.

Menurut Jemmy, penurunan permintaan pasar merupakan faktor utama yang menghambat penyerapan tenaga kerja di sektor TPT, sehingga mengakibatkan penurunan utilisasi pabrik tekstil.

“Penurunan utilisasi pabrik menyebabkan berkurangnya penggunaan mesin untuk produksi, sehingga perusahaan harus melakukan efisiensi jumlah tenaga kerja untuk mesin yang masih beroperasi,” jelasnya.

Jemmy juga menambahkan bahwa relokasi pabrik seharusnya dapat meningkatkan daya saing industri TPT nasional, karena upah pekerja yang lebih rendah berkaitan dengan arus kas perusahaan. Semakin tinggi upah yang dibayarkan, semakin rendah daya saing industri.

Baca juga: Pabrik Bata akhirnya gulung tikar jua

“Relokasi pabrik sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir dan umumnya pabrik pindah ke Provinsi Jawa Tengah yang memiliki upah minimum lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya,” tegasnya.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi), Redma Gita Wirawasta, menjelaskan bahwa saat ini utilisasi pabrik benang filamen hanya sekitar 45%, membuat beberapa perusahaan hanya menjalankan sebagian kecil dari kapasitas produksi mereka.

“Beberapa perusahaan hanya menjalankan sebagian dari kapasitas produksi mereka. Misalnya, jika sebelumnya memiliki 4 lini produksi, sekarang hanya menjalankan 2 lini,” katanya belum lama ini.

Baca juga: Masyarakat Pulau Mubut khawatir, dampak pabrik kaca Pulau Rempang ke wilayahnnya

Jika situasi ini terus berlanjut, Redma mengatakan industri benang filamen akan berada di ambang batas efisiensi. Dengan utilisasi kapasitas di bawah 45%, perusahaan menghadapi pilihan sulit untuk menutup operasionalnya.

“Jika utilisasi kapasitas terus berada di bawah 45%, perusahaan tidak akan efisien dan mungkin harus menutup operasionalnya,” tegasnya.

 

Ilustrasi buruh pabrik. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Menurut data Kementerian Perindustrian, industri TPT merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbesar setelah industri makanan dan minuman, dengan kontribusi lebih dari 3 juta pekerja atau hampir 20% dari total tenaga kerja nasional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sektor ini mengalami gelombang PHK seiring dengan penurunan permintaan.

Baca juga: Rekomendasi Komnas HAM : Relokasi pabrik, bukan masyarakat Rempang yang direlokasi

Pada awal 2023, jumlah korban PHK di Indonesia mencapai 13.634 orang, dengan Jawa Barat mencatat korban PHK terbanyak, yaitu 5.603 orang, diikuti oleh Jawa Tengah dengan 4.887 orang. Kedua provinsi tersebut merupakan basis industri TPT di Indonesia.

Dari Januari hingga Mei 2024, jumlah pekerja sektor industri TPT yang terkena PHK mencapai 10.800 orang, menurut data Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), yang melibatkan lima perusahaan, yaitu PT Sae Apparel, PT Sinar Panca Jaya, PT Pulomas, PT Alenatex, dan PT Kusuma Grup.

“Penyebab PHK adalah penurunan pesanan hingga tidak ada pesanan sama sekali, baik untuk ekspor maupun pasar lokal,” kata Presiden KSPN, Ristadi.

Baca juga: Peran Digital Marketing dalam Strategi Bisnis Modern

Sejalan dengan penjelasan Jemmy, Ristadi menyebutkan bahwa sulitnya industri TPT lokal bertahan dan keputusan untuk memangkas tenaga kerja juga dipengaruhi oleh serbuan produk tekstil, khususnya dari China.

“Akibatnya, produk tekstil dalam negeri tidak bisa bersaing karena kalah harga jual,” ungkapnya.(RS)

 

Sumber : Bloomberg Technoz,

Berita Terkait

Top