5 Ancaman yang Mengintai Indonesia Akibat Kurs Rupiah Rp16.000 dan Bunga Tinggi: Harga HP Naik hingga PHK


Dua faktor ini memicu capital outflow yang menyebabkan mata uang banyak negara, termasuk rupiah, terdepresiasi. Suku bunga The Fed yang tetap tinggi membuat banyak bank sentral, termasuk Bank Indonesia, menahan atau bahkan menaikkan suku bunga karena derasnya outflow dan suku bunga tinggi di AS.

Foto: Infografis/ Tsunami PHK Startup, Gaji Software Engineer RI Anjlok/ Ilham Restu

Jakarta, (Mas Reko) – Perekonomian Indonesia diperkirakan akan tetap sulit ke depan akibat ketidakpastian global yang terus berlanjut, yang diperkirakan akan terjadi hingga 2025. Ketidakpastian ini disebabkan oleh kondisi geopolitik yang memanas di Timur Tengah dan belum adanya kepastian mengenai pemangkasan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed).

Baca juga : BI Menjaga Stabilitas Rupiah, Pasar Saham Mendapat Dampak Positif

Dua faktor ini memicu capital outflow yang menyebabkan mata uang banyak negara, termasuk rupiah, terdepresiasi. Suku bunga The Fed yang tetap tinggi membuat banyak bank sentral, termasuk Bank Indonesia, menahan atau bahkan menaikkan suku bunga karena derasnya outflow dan suku bunga tinggi di AS.

Ada dua hal utama yang menjadi perhatian masyarakat dan pengusaha, yakni suku bunga tinggi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mencapai Rp16.000/US$ belakangan ini.

Sejak Agustus 2022, suku bunga Bank Indonesia (BI) telah naik dari 3,5% menjadi 6,25% pada Mei 2024, tertinggi sejak Juli 2016. Selain itu, nilai tukar rupiah juga mencapai level mengkhawatirkan di atas Rp16.000/US$, yang telah berlangsung sejak 16 April 2024.

Baca juga : Hasil laut Pulau Rempang melimpah, warga bisa untung hingga jutaan rupiah dari teripang

Ketidakpastian global masih menjadi perbincangan utama pada 2024 dan 2025. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa ekonomi global tahun depan masih tidak pasti.

Inflasi global yang tinggi meskipun banyak negara sudah menaikkan suku bunga acuan, tetap menjadi masalah. Perry memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga pada akhir tahun, namun kondisi geopolitik tetap akan berdampak pada ekonomi Indonesia.

Berikut ini adalah lima dampak akibat tingginya suku bunga BI serta pelemahan rupiah:

1. Harga Barang Impor Naik

Sejak November 2023, impor Indonesia terus menurun dari US$19,59 miliar menjadi US$16,06 miliar pada April 2024. Deputi Bidang Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini, menyatakan penurunan nilai impor nonmigas menyebabkan penurunan ini.

Baca juga : Pakar tentang Keputusan Jokowi Berlakukan Tapera: Apa Hak Negara Mengatur Keuangan Swasta?

Melemahnya rupiah membuat barang impor semakin mahal, menekan pengusaha hingga masyarakat biasa, terutama sektor farmasi dan semen, serta barang konsumsi seperti kedelai, susu, elektronik, laptop, handphone, dan buah-buahan.

2. Konsumsi Masyarakat Tertekan

Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa konsumsi cenderung meningkat selama Ramadhan dan Lebaran, namun tahun ini porsi konsumsi lebih rendah dibandingkan 2022. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) tahun 2024 lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, mencerminkan optimisme yang menurun.

3. PHK Merajalela

Tingginya biaya operasional memaksa perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) untuk efisiensi. Suku bunga tinggi menghambat ekspansi bisnis, sementara pelemahan rupiah membebani perusahaan yang mengimpor bahan mentah.

Baca juga : Korupsi di PT Taru Martani terungkap, Gubernur DIY melaporkannya

Contohnya, PT Sepatu Bata Tbk (BATA) menutup pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat, dan mem-PHK 233 pekerja. Sepanjang 2023-2024, sudah ada 8 pabrik besar yang tutup di Jawa Barat, menyebabkan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan.

4. Beban Bunga Melonjak

Suku bunga tinggi berdampak negatif bagi perusahaan yang sensitif terhadap perubahan suku bunga. Beban bunga yang tinggi mengurangi laba bersih perusahaan. Enam perbankan besar di Indonesia mengalami pertumbuhan beban bunga yang lebih besar dibandingkan pendapatan bunga dalam empat bulan pertama 2024 dibandingkan 2023.

5. Kenaikan Kredit Macet

Kredit macet (Non-Performing Loan/NPL) berpotensi meningkat di era suku bunga tinggi. Masyarakat yang meminjam uang ke perbankan akan terbebani dengan suku bunga tinggi, sehingga jika dana nasabah terbatas, mereka mungkin tidak mampu membayar utang hingga terjadi kredit macet. Hal ini dapat meningkatkan NPL perbankan dan merusak perspektif investor terhadap Indonesia dan perbankan.

Baca juga : Presiden sudah undang Kapolri terkait isu penguntitan Jampidsus

Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa suku bunga tinggi di banyak negara meningkatkan biaya pinjaman, membebani perusahaan. Ketidakpastian global dan suku bunga tinggi terus menjadi tantangan besar bagi ekonomi Indonesia.(RS)

 

Sumber: Hasil penelitian tim CNBC Indonesia.

Berita Terkait

Top