Fenomena ‘doom spending’ kini sedang marak di kalangan generasi milenial dan Gen-Z


ILustrasi milenial dan gen-Z. Foto: Getty Images/Husam Cakaloglu

Jakarta, (Mas Re) —Fenomena ‘doom spending’ kini sedang marak di kalangan generasi milenial dan Gen-Z sebagai bentuk respons terhadap tekanan ekonomi dan ketidakpastian masa depan.

Baca juga : PHK Berdampak Besar bagi Para Pekerja

Istilah ini merujuk pada kebiasaan berbelanja tanpa perencanaan sebagai cara untuk meredakan stres dan kecemasan terhadap keadaan ekonomi. Menurut Profesor Bruce Y Lee dari City University of New York, fenomena ini terjadi ketika seseorang merasa tertekan oleh isu-isu besar seperti politik yang tidak stabil atau perubahan iklim, sehingga mereka membeli barang-barang sebagai pelarian.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga menyebar secara global. Seorang wanita asal Kolombia, Stefania Troncoso Fernández, mengungkapkan bahwa inflasi dan ketidakpastian politik membuatnya kesulitan menabung, meskipun ia telah berhenti dari kebiasaan belanja sembarangan. Meski kini ia berpenghasilan lebih, dua tahun sebelumnya ia sering menghabiskan uang untuk pakaian dan perjalanan, karena merasa tidak mampu membeli rumah.

Baca juga : Asal-Usul Nama Mulyono yang Kini Ramai Dibicarakan di Media Sosial

Studi yang dilakukan oleh CNBC menunjukkan bahwa banyak orang dewasa merasa kondisi finansial mereka lebih buruk dibandingkan orang tua mereka. Generasi milenial dan Gen-Z sering merasa tidak akan pernah mencapai kemapanan finansial seperti yang dicapai generasi sebelumnya, yang memicu kebiasaan *doom spending* sebagai cara untuk merasa seolah-olah masih memiliki kendali.

Namun, perilaku ini sebenarnya dapat merugikan di masa depan. Mengatasi kebiasaan *doom spending* membutuhkan pemahaman mendalam tentang hubungan pribadi dengan uang, yang sering kali terbentuk sejak kecil. Samantha Rosenberg dari platform Belong juga menekankan pentingnya membuat transaksi lebih nyata dan sulit, seperti menggunakan uang tunai, untuk mencegah pembelian impulsif.

Menurut survei Keamanan Finansial International Your Money yang dilakukan oleh CNBC dan Survey Monkey terhadap 4.342 orang dewasa di seluruh dunia, hanya 36,5% responden merasa kondisi finansial mereka lebih baik dibandingkan orang tua mereka, sementara 42,8% merasa justru lebih buruk.

Baca juga : Tiba-Tiba China Dilanda Panic Buying, Ada Apa?

Menurut Ylva Baeckström, dosen senior di King’s Business School, generasi saat ini menjadi generasi pertama yang cenderung lebih miskin daripada orang tua mereka. Banyak dari mereka merasa tidak mampu mencapai standar hidup yang dinikmati generasi sebelumnya. Akibatnya, muncul fenomena doom spending, di mana orang menghabiskan uang secara impulsif untuk menciptakan ilusi kontrol di tengah dunia yang tidak menentu. Namun, tindakan ini justru membuat mereka kehilangan kendali atas masa depan, karena tidak menyisihkan uang untuk ditabung atau diinvestasikan.

Untuk menghentikan ‘doom spending’, Baeckström menekankan pentingnya memahami hubungan seseorang dengan uang. Seperti halnya hubungan dengan orang lain, cara seseorang mengelola uang terbentuk sejak kecil. Jika seseorang memiliki hubungan yang aman dengan uang, mereka cenderung lebih bijak dalam pengeluaran. Sebaliknya, hubungan yang tidak aman dapat mendorong perilaku belanja yang tidak sehat.

Baca juga : 9 Tewas Akibat Panas Ekstrem di Rajasthan India

Samantha Rosenberg, salah satu pendiri platform Belong, menyarankan bahwa belanja daring memperburuk kebiasaan pengeluaran yang impulsif. Melihat barang secara langsung dan melalui proses pembelian yang lebih lambat, seperti memilih toko dan mengantre, dapat membantu mengurangi pengeluaran yang tidak perlu.

Selain itu, ia merekomendasikan penggunaan uang tunai, karena pembayaran digital cenderung mengaburkan dampak emosional dari pengeluaran, menjadikan belanja terasa lebih mudah dan cepat tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.(RS)

 

Sumber : detik.com/edu

Berita Terkait

Top