Indonesia butuh penguatan soft power untuk memajukan pengaruh globalnya
Seorang wanita menjual makanan buka puasa untuk berbuka puasa pada minggu pertama Ramadhan di Jakarta, Indonesia, 28 Maret 2023. (AP Photo/Achmad Ibrahim)/CNA)
Jakarta, (Mas Reko) —Indonesia berharap bisa mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap area strategisnya, tetapi Indonesia tidak memiliki strategi buat menggunakan soft power, kata para periset kebijakan.
Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengumumkan rencana dini pembangunan jangka panjang Indonesia pada tahun 2025 sampai 2045, yang menjabarkan tekad besar negeri ini buat menggapai “Indonesia Emas” pada tahun 2045, kala negeri tersebut memperingati abad kemerdekaannya. Menguatkan kepemimpinan serta pengaruh Indonesia di panggung global ialah tujuan strategis dalam rencana tersebut.
Baca yuk : Kenapa dekade selanjutnya Indonesia tidak bisa sekadar jadi kaya
Tujuan ini sangat berbeda dengan rencana pembangunan jangka panjang lebih dahulu pada tahun 2005 sampai 2025, yang lebih menekankan pada pemulihan serta penguatan demokrasi Indonesia. Dengan mengacu langsung pada gagasan “pengaruh”, tujuan baru ini menampilkan Indonesia yang lebih asertif, berupaya untuk lebih memahami area strategisnya.
Tekad tersebut tidak diragukan lagi didorong oleh keberhasilan Indonesia baru-baru ini dalam mengetuai inisiatif-inisiatif utama global serta regional, mulai dari G20 sampai Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara . Tidak mengherankan bila Asia Power Index 2023 yang diterbitkan oleh Lowy Institute, yang secara formal digunakan dalam rencana pembangunan jangka panjang selaku penanda kinerja, menempatkan Indonesia pada peringkat kesembilan di antara 28 negeri Asia dalam perihal pengaruh, terletak di antara Singapura serta Thailand.
Tetapi apa yang masih lenyap dari pendekatan Indonesia? Jawabannya terletak pada apresiasi serta penggabungan budaya selaku sumber pengaruh. Indonesia membutuhkan strategi yang lebih komprehensif menimpa metode menggunakan kekuatan lunaknya untuk tingkatkan kekuatan geostrategisnya.
Butuh peningkatan pengaruh kebudayan Indonesia
Memanglah benar, sebagaimana tergambar dalam Indeks Kekuatan, Indonesia masih tertinggal dalam sebagian penanda kekuatan, paling utama dalam perihal keahlian militer, jaringan pertahanan, serta pengaruh budaya, dimana Indonesia terletak di dasar peringkat 10 besar.
Tetapi walaupun banyak pengamat mencatat kalau Departemen Pertahanan di dasar kepemimpinan calon presiden, Prabowo Subianto , sudah mengambil inisiatif berarti buat menanggulangi kelambanan dalam keahlian militer serta jaringan pertahanan, strategi konkrit buat tingkatkan pengaruh budaya Indonesia serta menggunakan kemampuan kekuatan lunak (soft power) masih wajib dilihat.
Baca yuk : Pulau Rempang batal dikosongkan 28 September, pemerintah sibuk sosialisasi relokasi
Diciptakan oleh Joseph Nye, soft power mengacu pada kapasitas buat membentuk preferensi orang lain tanpa memakai paksaan ataupun hard power. Perihal ini berasal dari energi tarik budaya sesuatu negeri universalitas nilai-nilai politiknya, serta legitimasi moral kebijakan luar negerinya.
Jauh dibawah Thailand ataupun Singapura
Jepang, Korea Selatan, Singapura, apalagi Thailand bernasib jauh lebih baik dibanding Indonesia dalam perihal ini. Dalam Global Soft Power Index 2023, seluruhnya terletak di atas Indonesia yang terletak di peringkat 45. Masih banyak yang wajib dipelajari menimpa gimana negara-negara ini mengelola kemampuan soft power mereka.
Ambil contoh negera Thailand. Lewat inisiatif gastro-diplomasi yang dipandu pemerintah, negeri ini sudah sukses tingkatkan kedatangan restoran Thailand di luar negara dari dekat 5.000 pada dini tahun 2000an jadi 15.000 pada tahun 2018, bagi berdasarkan suatu riset
Laporan terkini dari Pew Research Center menampilkan kalau restoran Thailand mencakup 11 persen dari segala restoran Asia di Amerika Serikat – peringkat ketiga yang sangat banyak didatangi sehabis Tiongkok serta Jepang. Ekspor produk pertanian serta pariwisata Thailand pula bertambah Perihal ini sudah menolong tingkatkan pengaruh budaya Thailand.
Butuh perubahan paradigma
Untuk memasukkan soft power ke dalam proyeksi geostrategis Indonesia, pergantian paradigma oleh para pembentuk kebijakan merupakan sesuatu keharusan. Paradigma konvensional menyangka sumber kekuatan utama Indonesia terletak pada jumlah: jumlah penduduk, sumber energi alam, ataupun daerah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mencontohkan pemikiran semacam itu – semacam yang nampak dalam novel terbarunya Paradoks Indonesia.
Pengarusutamaan soft power selaku paradigma kebijakan mewajibkan para pembentuk kebijakan di Indonesia buat mulai memandang watak asli, keanekaragaman biologi budaya serta bakat manusia selaku modal utama pengaruh geostrategis.
Baca yuk : Ketakutan Warga Rempang: Antara tekanan investor asing serta bujuk-rayu Pemerintah
Belajar dari pengalaman Thailand, misalnya, Indonesia wajib merancang kebijakan komprehensif buat menolong peninggalan kulinernya mendunia. Kebijakan tersebut hendak menguatkan inisiatif yang sudah dicoba oleh warga sipil serta diaspora Indonesia buat mempromosikan peninggalan kuliner Indonesia semacam tempe) ke luar negara serta membagikan insentif untuk mereka yang mau mengambil bagian dalam upaya tersebut.
Walaupun Indonesia baru-baru ini meluncurkan program Indonesia Spice Up The World buat menolong mempromosikan santapan serta restoran lokal di luar negara masih wajib dilihat apakah program ini cuma hendak jadi slogan ataupun jadi mangsa ego sektoral di antara lembaga-lembaga yang ikut serta tercantum Indonesia. pemerintah populer
Tidak hanya itu, belajar dari keberhasilan India dalam menggunakan diaspora global selaku sumber soft power, india butuh menyusun strategi pengembangan sumber energi manusia dalam konteks dunia yang bersama tersambung
Oleh sebab itu, program yang dirancang buat membagikan peluang untuk warga Indonesia buat melanjutkan pembelajaran besar di luar negara semacam Dana Abadi Pembelajaran Nasional, tidak boleh berorientasi ke dalam negara Kebalikannya Indonesia wajib berupaya menciptakan diaspora talenta yang berdaya saing global yang bisa menyalurkan kesempatan eksternal ke tanah air mereka serta menolong mengangkut citra Indonesia.
Baca yuk : Banjir Bandang Libya: Pihak berwenang meminta penyelidikan soal pemicu ribuan kematian
Ini hanya dua contoh kebijakan untuk menguatkan soft power serta profil geostrategis Indonesia. Yang benar-benar diperlukan Indonesia merupakan kepemimpinan tingkatan atas yang sanggup melampaui pemikiran geostrategis konvensional serta mempunyai keberanian buat mewujudkan inisiatif tersebut.(Reko Suroko)
Fakhridho Susrahadiansyah Bagus Pratama Susilo meraih gelar PhD di bidang kebijakan dan tata kelola dari Crawford School of Public Policy, Australian National University. Jaysa Rafi Prana adalah kandidat PhD bidang Ekonomi di University of Illinois di Urbana-Champaign. Komentar ini pertama kali muncul di blog Lowy Institute, The Interpreter.
Sumber : Channelnewsasia.com