Media Asing Soroti Drama Nikel


Ilustrasi pekerja di smelter (Foto:Liputan6)

Oleh : Reko Suroko

SOLO, (Mas Reko)- Media asing sedang menyoroti drama nikel yang sedang terjadi di sini. Indonesia yang digembar-gemborkan sebagai penghasil bijih nikel nomor wahid di dunia. Ternyata tidak demikian adanya Di tengah program hilirisasi yang digencarkan pemerintah, perusahaan smelter mengimpor bahan baku dari Filipina.

Dunia menyoroti kekurangan pasokan bijih nikel untuk pembangunan smelter di Indonesia. Hal itu dikhawatirkan dapat mengganggu arus perdagangan bahan mentah dan menaikkan biaya di seluruh rantai pasokan.

Baca Juga :Siapa Berkontribusi Polusi Udara Jakarta …..

Lewat apa dunia menyaksikan drama nikel ini ?. Tentu saja masyarakat dunia masih percaya kredibilitas Reuters sebagai media independen atas perilaku drama itu.

Meskipun, penambangan di lokasi lain terus berlanjut dan Indonesia, yang menyumbang setengah dari pasokan bijih global, menyatakan bahwa mereka tidak kekurangan bijih. Sementara harga telah meningkat sekitar 8% pada minggu ini, menyusul lonjakan 10% pada minggu sebelumnya.

Repotnya perusahaan-perusahaan kini membeli bijih dari negara tetangga, Filipina, yang menjadi pemasok terbesar kedua di dunia, jika kuota penambangan baru makin tertunda. Seperti disampaikan tiga manajer smelter, dua pedagang nikel, dan seorang analis Tiongkok.

Semua menampik untuk diidentifikasi karena mereka tidak diizinkan untuk menyatakan informasi perdagangan secara publik.

“(Kami) mulai impor mulai bulan ini. Ekonomis,” kata seorang pejabat di salah satu smelter besar di Indonesia.

Sumber itu tidak memerinci berapa banyak yang dibeli oleh pabrik peleburan itu, namun mengungkapkan pembeliannya itu merupakan bijih limonit kualitas rendah.

Baca Juga :Kiamat Beras , Siapa pegang kuasa?

Penambang Indonesia akan mengutamakan bijih berkadar tinggi karena kuota produksinya yang terbatas.

Berdasarkan data perdagangan Indonesia, Indonesia mengimpor 53.864 metrik ton bijih nikel pada paruh pertama 2023, naik dari 22.503 ton sepanjang 2022. Namun impor dari Filipina baru dimulai pada Mei, dan semuanya tiba di pelabuhan Morowali.

Bijih nikel Filipina

“Bijih dari Filipina umumnya memiliki kadar lebih rendah dibandingkan material Indonesia sehingga akan mendorong biaya operasional lebih tinggi karena produksi yang lebih rendah dari tonase bijih yang sama,” kata analis Wood Mackenzie Andrew Mitchell, belum lama ini.

“Tetapi bijih tersebut lebih murah dibandingkan dengan bijih dalam negeri saat ini sehingga hal ini akan mengimbangi beberapa kenaikan biaya,” tambahnya.

Adapun Indonesia mengekspor sebagian besar bijihnya sebelum larangan pada tahun 2020 menghentikan semua pengiriman dan menarik investasi senilai miliaran dolar dalam pembangunan smelter, sebagian besar dari perusahaan China.

Menteri ESDM bicara

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, ada perusahaan Smelter asal Indonesia yang mengimpor bijih nikel dari luar negeri. Terutama nikel yang berasal dari Filipina.

Baca Juga : Bermukim di negeri resesi, lantas…

Arifin menilai keputusan perusahaan tersebut membeli bijih nikel dari Filipina lantaran tersendatnya pasokan bahan baku yang berasal dari Blok Mandiodo. Adapun, lanjutnya, operasi tambang Blok Mandiodo saat ini tengah dihentikan menyusul adanya kasus tindak pidana korupsi pada wilayah IUP milik PT Antam tersebut.

“Kita sudah telusuri berita-berita tersebut. Terindikasi perusahaan yang impor itu adalah perusahaan yang selama ini mengambil bahan baku dari Blok Mandiodo yang saat ini bermasalah,” ungkap Arifin dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR, Kamis (31/8/2023).

Oleh sebab itu, karena perusahaan tersebut harus melanjutkan proses pengolahan dan terikat kontrak dengan off taker, maka langkah pembelian bijih nikel dari luar negeri akhirnya harus dilakukan.

“Mereka mengambil langkah ini karena memang secara keseluruhan karena tidak boleh ekspor ore nikel semua produsen tambang sudah terikat dengan off taker smelter yang sedang berjalan,” kata dia. 

 Sumber : CNBC Indonesia, Reuters

Berita Terkait

Top