Selayaknya pemerintah minta maaf kepada warga Rempang, secara terbuka
Masyarakat Kampung Tua Pasir Merah tengah melaut. (foto: IDN Times)
Batam, (Mas Reko)— Keahlian Badan Pengusahaan (BP) Batam dalam mengelola lahan dipertanyakan. Ketika merajut investasi Rempang Eco City menjadi satu konflik dengan isu berskala internasional hingga diangkat statusnya menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) tahun 2023.
Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Kepri, Uba Ingan Sigalingging, berbicara hal itu, Rabu (5/10/2023).
Baca yuk : Menekan harga beras yang tinggi, solusinya impor ?
Menurutnya, konflik dengan tindakan kekerasan kepada masyarakat di Pulau Rempang, Galang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri) beberapa waktu lalu bukanlah suatu hal yang pertama kali menimpa masyarakat di Kota Batam.
Konsisten kawal investasi tanpa pedulikan hak warga
Pengerahan personel bersenjata, lanjutnya, bersama Ditpam BP Batam dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berskala besar sudah kerap dilakukan BP Batam dalam menghalalkan investasi yang masuk ke Kota Batam.
Hal itu , katanya, sudah berlangsung selama bertahun-tahun lamanya dan terus dilakukan secara konsisten oleh BP Batam untuk mengawal masuknya suatu investasi.
Uba Ingan menambahkan, konsistensi BP Batam dalam mengawal investasi tanpa mementingkan hak masyarakat yang tinggal di lokasi investasi itu sendiri sudah menjadi hal yang lumrah.
Hal senada inilah yang terjadi pada 7 September 2023 lalu di jembatan 4 Pulau Rempang, katanya.
“Sebenarnya secara prinsip tindakan BP Batam ini sama, yaitu menggunakan tim terpadu tanpa melalui proses dialog, ” ujarnya.
Uba Ingan menambahkan, apa yang terjadi di Rempang skalanya lebih besar dengan menggunakan pasukan yang lengkap. Ini menimbulkan kesan, menurutnya , adanya pengepungan terhadap warga.
Kesannya pengepungan terhadap warga
Pengepungan ini, ujarnya, sendiri jelas satu tindakan perang terhadap rakyat. Namun, berbeda di Rempang, masyarakat di Pulau Rempang menolak dan melawan hingga akhirnya menjadi berita yang sangat luas dan besar.
Hal ini, tandas Uba Ingan, memaksa BP Batam kembali meninjau pendekatannya secara umum,” kata Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Kepri, Uba Ingan Sigalingging.
Baca yuk :Waspada, jeratan Kereta Cepat Jakarta -Bandung bikin sengsara
Konsistensi BP Batam dalam menjadi eksekutor luntur di Pulau Rempang, kini berselimut di dalam garis fasilitator
Perbedaan cara penanganan permasalahan lahan oleh BP Batam dapat terlihat kontras ketika investasi PT Makmur Elok Graha (MEG) di Pulau Rempang berakhir riuh akibat penolakan berskala besar yang terjadi di lingkup masyarakat adat setempat.
Kini telah luntur
Kini, proses penanganan lahan dengan menghalalkan segala cara itu telah luntur. Setelah ditingkatkannya status Rempang Eco City ini menjadi PSN 2023, BP Batam mutlak menjadi fasilitator, hal itu terlihat dari pengajuan-pengajuan anggaran pembebasan lahan yang dibebankan kepada negara melalui pembahasan di Komisi 6 DPR RI.
“Kita dengar pembahasan di DPR RI terkait pengajuan biaya pembangunan perumahan, invrastruktur dan juga biaya-biaya untuk menunjang masuknya investasi di Pulau Rempang. “
“Sementara untuk di tempat-tempat lainnya, BP Batam selalu membebankan kepada pengusaha atau perusahaan. Jadi prinsip-prinsip clear and clean hanya dapat kita lihat di Pulau Rempang, tetapi di proyek lainnya di Kota Batam tidak ada. Ini tentu menunjukan adanya inkonstitensi dari BP Batam dalam melakukan pengelolaan lahan di Kota Batam,” tuturnya.
Lanjut Uba, hingga saat ini perenggutan atas hak masyarakat kecil oleh BP Batam sudah tergolong sangat banyak. BP Batam dipandangannya harus bertanggung jawab untuk memfasilitasi dan bekerja sama dengan Pemerintah Kota (Pemko) Batam dalam melakukan langkah-langkah dialogis kepada masyarakat.
Baca yuk : Masyarakat Pulau Mubut khawatir, dampak pabrik kaca Pulau Rempang ke wilayahnnya
“Tetapi sebagaimana yang kita tahu, BP Batam selalu menghindar untuk melakukan hal itu karena kalau itu dilakukan, maka aib BP Batam akan terbongkar karena selalu mengalokasikan lahan seenaknya, tanpa melaksanakan prinsip-prinsip clear and clean. Tentu itu menjadi pokok persoalan sehingga BP Batam istilahnya lepas tangan, jadi habis tanda tangan, lepas tangan dan cuci tangan hingga akhirnya terjadilah benturan antara pengusaha yang mendapat alokasi lahan dengan masyarakat setempat,” ujarnya. (Reko Suroko)
Sumber: IDN Times